Selasa, 15 November 2011

Pelajaran dari Bocah Penjual Koran

Pagi itu seperti biasa saya berangkat pagi setelah subuh dari rumah, ke tempat penyimpanan motor di bilangan cawang, uki, walau sering terlambat, kali ini saya datang labih awal ketempat menunggu bis antar jemput yang membawa saya ke kantor, saya menyukai naik bus jemputan karena lelah berkendara dari depok-cikarang. Tidak tahan kemacetan ibu kota.

Seperti biasa saya duduk bersama rekan rekan sambil menunggu jemputan. Tetapi karena saya datang lebih awal, munculah seorang bocah lelaki yang seperti biasa menawarkan Koran kepada semua penduduk shelter.

” Koran, Koran, Kompas, Media, tempo, republika, warta kota” begitu teriak bocah laki-laki tersebut menawarkan Koran kepada kami. “Koran bang” dia menawari ku untuk membeli Koran. “seperti biasa kompas satu” kataku meminta Koran yang biasa kubaca setiap pagi.

Tangan mungilnya dengan cekatan memilih Koran yang kuminta diantara tumpukan Koran dagangannya.

” ini bang Koran kompasnya” memberi Koran yang aku minta kepadanya, “nih ada kembaliaanya engga” kataku sambil menyodorkan uang Rp 50.000, kepadanya. “beres bang, pasti ada” segera dikeluarkan kembaliannya dari tas gembloknya yang kotor, “wah pagi-pagi uangnya dah banyak ya” kataku kepada bocah tersebut.

“Allhamdulilah bang, rejeki saya lagi lancar” katanya sambil tersenyum senang. Dan setelah itu diapun berlalu menawarkan Koran kepada para penghuni shelter lainnya.

Saat ini pukul 05.20, masih terlalu lama jemputan ku datang, maka saya menyempatkan membaca koran kompas

yang tadi saya beli pada bocah tukang Koran tersebut.

Tanpa sadar saya memperhatikan betapa gigih seorang bocah tukang Koran tersbut mencari uang, dengan menawarkan daganganya kepada semua orang yang datang dan pergi silih beranti.

Sepintas tampak keringat membasahi wajahnya yang tegar dalam usia beliaya harus berjuang memperoleh uang secara halal dan sebagai pekerja keras.

” Koran, mba ada tabloid nova, ada berita selebritisnya nih mba, atau ini tabloid bintang, ada kabar artis bercerai” katanya bagai seorang marketing ulung tanpa menyerah dia menawarkan Koran kepada seorang wanita setengah baya yang pada akhirnya menyerah dan membeli satu tabloid yang disebut sang bocah tersebut.

Sambil memperhatikan terbersit rasa kagum dan rasa haru kepada bocah tersebut, dan memperhatikan betapa gigihnya dia berusaha, hanya tampak senyum ceria yang membuat semua orang yang ditawarinya tidak marah. Tidak terdapat sedikit pun rasa putus asa dalam dirinya, walaupun terkadang orang yang ditawarinya tidak membeli korannya.

Sesaat mungkin bocah tersebut lelah menawarkan korannya, dan dia terduduk disampingku, “kamu engga sekolah dik” tanyaku kepadanya “engga bang, saya tidak ingin sekolah tinggi-tinggi” katanya.

“engga ada biaya dik’ tanyaku menyelidik, “Bukan bang, walau saya tukang Koran saya punya cita-cita” jawabnya, “maksudnya, kan dengan sekolah kamu bisa mewujudkan cita-cita kamu dengan lebih mudah” kataku menjawab.

“Aku sering baca Koran bang, banyak orang yang telah sekolah tinggi bahkan sarjana tidak bekerja bang, alias nganggur. Mending saya walau sekolah tidak tinggi saya punya penghasilan bang” katanya berusaha menjelaskan kepadaku. “abang ku bang, tidak sekolah bisa buka agen Koran penghasilan sebulannya bisa 3-4 juta bang, saya baca di Koran gaji pegawai honorer Cuma 700ribu, jadi buat apa saya sekolah bang” tanyanya kepadaku

Saya mengerutkan kening, tertanda saya tekejut dengan jawaban bocah kecil tersebut pemikiran yang tajam, dan sebuah keritik yang dalam buat saya yang seorang sarjana. Dalam hati saya membenarkan perkataan anak tersebut, UMR kota bekasi saja +/-900rb untuk golongan smu.

Saya pun tersenyum mendengar jawaban anak tersebut, kemudian bus jenputan saya pun tiba dan saya meninggalkan bocah tersebut tanpa bisa menjawab pertanyaanya, apa tujuan kita sekolah, menjadi sarjana.?

Karena banyak sarjana sekarang yang begitu lepas kerja mengaggur, tidak punya penghasilan, dan banyak juga karena belum bisa bekerja yang melanjutkan S2 dengan alas an ingin mengisi waktu luang dan menambah nilai jual dirinya.

Tapi pernyataan bocah penjual Koran tersebut menyadarkan saya, tentang rejeki, dan tujuan dari bersekolah, yang saat ini saya mungkin kalah dengan bocah kecil tersebut, walau saya seorang yang mempunyai penghasilan dan mempunyai suatu jabatan saya hanyalah manusia gajian, saya hanya seorang buruh.

Beda dengan bocah kecil tersebut, dalam usia belia dia sudah bisa menjadi majikan untuk dirinya sendri. Sungguh hebat pemikiran lugu bocah penjual Koran tersebut. pembalajaran yang menarik dari seorang bocah kecil yang setiap hari kutemui.(EA)
“Rizky Tuhan sungguh tidak terbatas, tinggal kemauan kita untuk dapat berusaha menggapainYa”

“Pelajaran Dapat di peroleh tidak hanya di pendidikan formal, Dan dunia pun banyak memberi pelajaran untuk kita”

Senin, 14 November 2011

Kisah Suami dan Istri

Kisah yang menyentuh, tentang suami istri yang saling mencintai dan saling setia. Mudah2an dapat menjadi renungan dan motivasi bersama di hari ini.

“Namaku Linda & aku memiliki sebuah kisah cinta yang memberiku sebuah pelajaran tentangnya. Ini bukanlah sebuah kisah cinta hebat & mengagumkan penuh gairah seperti dalam novel-novel roman, walau begitu menurutku ini adalah kisah yang jauh lebih mengagumkan dari itu semua.

Ini adalah kisah cinta ayahku, Mohammed Huda alhabsyi & ibuku, Yasmine Ghauri. Mereka bertemu disebuah acara resepsi pernikahan & kata ayahku ia jatuh cinta pada pandangan pertama ketika ibuku masuk kedalam ruangan & saat itu ia tahu, inilah wanita yang akan menikah dengannya. Itu menjadi kenyataan & kini mereka telah menikah selama 40 tahun & memiliki tiga orang anak, aku anak tertua, telah menikah & memberikan mereka dua orang cucu.

Mereka bahagia & selama bertahun-tahun telah menjadi orang tua yang sangat baik bagi kami, mereka membimbing kami, anak-anaknya dengan penuh cinta kasih & kebijaksanaan.

Aku teringat suatu hari ketika aku masih berusia belasan tahun. Saat itu beberapa ibu-ibu tetangga kami mengajak ibuku pergi kepembukaan pasar murah yang mengobral alat-alat kebutuhan rumah tangga. Mereka mengatakan saat pembukaan adalah saat terbaik untuk berbelanja barang obral karena saat itu saat termurah dengan kualitas barang-barang terbaik.


Tapi ibuku menolaknya karena ayahku sebentar lagi pulang dari kantor. Kata ibuku,”Mama tak akan pernah meninggalkan papa sendirian”.

Hal itu yang selalu dicamkan oleh ibuku kepadaku. Apapun yang terjadi, sebagai seorang wanita aku harus patuh pada suamiku & selalu menemaninya dalam keadaan apapun, baik miskin, kaya, sehat maupun sakit. Seorang wanita harus bisa menjadi teman hidup suaminya. Banyak orang tertawa mendengar hal itu menurut mereka, itu hanya janji pernikahan, omong kosong belaka. Tapi aku tak pernah memperdulikan mereka, aku percaya nasihat ibuku.

Sampai suatu hari, bertahun-tahun kemudian, kami mengalami duka, setelah ulang tahun ibuku yang ke-59, ibuku terjatuh di kamar mandi & menjadi lumpuh. Dokter mengatakan kalau saraf tulang belakang ibuku tidak berfungsi lagi, & dia harus menghabiskan sisa hidupnya di tempat tidur.

Ayahku, seorang pria yang masih sehat diusianya yang lebih tua, tapi ia tetap merawat ibuku, menyuapinya, bercerita banyak hal padanya, mengatakan padanya kalau ia mencintainya. Ayahku tak pernah meninggalkannya, selama bertahun-tahun, hampir setiap hari ayahku selalu menemaninya, ia masih suka bercanda-canda dengan ibuku. Ayahku pernah mencatkan kuku tangan ibuku, & ketika ibuku bertanya ,”untuk apa kau lakukan itu? Aku sudah sangat tua & jelek sekali”.

Ayahku menjawab, “aku ingin kau tetap merasa cantik”. Begitulah pekerjaan ayahku sehari-hari, ia merawat ibuku dengan penuh kelembutan & kasih sayang, para kenalan yang mengenalnya sangat hormat dengannya. Mereka sangat kagum dengan kasih sayang ayahku pada ibuku yang tak pernah pudar.

Suatu hari ibu berkata padaku sambil tersenyum,”…kau tahu, Linda. Ayahmu tak akan pernah meninggalkan aku…kau tahu kenapa?” Aku menggeleng & ibuku melanjutkan, “karena aku tak pernah meninggalkannya…”

Itulah kisah cinta ayahku, Mohammed Huda Alhabsyi & ibuku, Yasmine Ghauri, mereka memberikan kami anak-anaknya pelajaran tentang tanggung jawab, kesetiaan, rasa hormat, saling menghargai, kebersamaan, & cinta kasih. Bukan dengan kata-kata, tapi mereka memberikan contoh dari kehidupannya.

Cerita Seorang Guru

Menjadi guru, bukanlah pekerjaan mudah. Didalamnya, dituntut pengabdian, dan
juga ketekunan. Harus ada pula kesabaran, dan welas asih dalam menyampaikan
pelajaran. Sebab, sejatinya, guru bukan hanya mendidik, tapi juga mengajarkan.
Hanya orang-orang tertentu saja yang mampu menjalankannya.

Menjadi guru juga bukan sesuatu yang gampang. Apalagi, menjadi guru bagi
anak-anak yang mempunyai “keistimewaan”. Dan saya, merasa beruntung sekali dapat
menjadi guru mereka, walau cuma dalam beberapa jam saja. Ada kenikmatan
tersendiri, berada di tengah anak-anak dengan latar belakang Cerebral Palsy
(sindroma gangguan otak belakang).

Suatu ketika, saya diminta untuk mendampingi seorang guru, di sebuah kelas
khusus bagi penyandang cacat. Kelas itu, disebut dengan kelas persiapan, sebuah
kelas yang berada dalam tingkatan awal di YPAC Jakarta. Lazimnya, anak-anak
disana berumur antara 9-12 tahun, tapi kemampuan mereka setara dengan anak
berusia 4-5 tahun, atau kelas 0 kecil.


Saat hadir disana, kelas tampak ramai. Mereka rupanya sedang bermain susun
bentuk dan warna. Ada teriak-teriakan ganjil yang parau, dan hentakan-hentakan
kepala yang konstan dari mereka. Ada pula tangan-tangan yang kaku, yang sedang
menyusun keping-keping diagram. Disana-sini terserak mainan kayu dan plastik.
Riuh. Bangku-bangku khusus berderak-derak, bergesek dengan kursi roda sebagian
anak yang beradu dengan lantai.

Saya merasa canggung dengan semua itu. Namun, perasaan itu hilang, saat melihat
seorang guru yang tampak begitu telaten menemani anak-anak disana. “Mari masuk,
duduk sini dekat Si Abang, dia makin pinter lho bikin huruf,” begitu panggilnya
kepada saya. Saya berjalan, melewati anak-anak yang masih sibuk dengan tugas
mereka. Ah benar saja, si Abang, anak berusia 11 tahun yang mengalami Cerebral
Palsy dengan pembesaran kepala itu, tampak tersenyum kepada saya. Badannya
melonjak-lonjak, tangannya memanggil-manggil seakan ingin pamer dengan
kepandaiannya menyusun huruf.

Subhanallah, si Abang kembali melonjak-lonjak. Saya kaget. Saya tersenyum. Dia
tergelak tertawa. Tak lama, kami pun mulai akrab. Dia tak malu lagi dibantu
menyusun angka dan huruf. Susun-tempel-susun-tempel, begitu yang kami lakukan.
Ah, saya mulai menikmati pekerjaan ini. Dia pun kini tampak bergayut di tangan
saya. Tanpa terasa, saya mengelus kepalanya dan mendekatkannya ke dada. Terasa
damai dan hangat.

Sementara di sudut lain, sang Ibu guru tetap sabar sekali menemani semua anak
disana. Dituntunnya tangan anak-anak itu untuk meniti susunan-susunan gambar.
Dibimbingnya setiap jemari dengan tekun, sambil sesekali mengajak mereka
tersenyum. Tangannya tak henti mengusap lembut ujung-ujung jemari lemah itu.
Namun, tak pernah ada keluh, dan marah yang saya dengar.

Waktu berjalan begitu cepat. Dan kini, waktunya untuk pulang. Setelah
membereskan beberapa permainan, anak-anak pun bersiap di bangku masing-masing.
Dduh, damai sekali melihat anak-anak itu bersiap dengan posisi serapih-rapihnya.
Tangan yang bersedekap diatas meja, dan tatapan polos kearah depan, saya yakin,
membuat setiap orang tersenyum. Ibu guru pun mulai memimpin doa, memimpin setiap
anak untuk mengatupkan mata dan memanjatkan harap kepada Tuhan.

Damai. Damai sekali mata-mata yang mengatup itu. Teduh. Teduh sekali melihat
mata mereka semua terpejam. Empat jam sudah saya bersama “malaikat-malaikat”
kecil itu. Lelah dan penat yang saya rasakan, tampak tak berarti dibanding
dengan pengalaman batin yang saya alami. Kini, mereka bergerak, berbaris menuju
pintu keluar. Tampak satu persatu kursi roda bergerak menuju ke arah saya.
Ddduh, ada apa ini?

Lagi-lagi saya terharu. Setibanya di depan saya, mereka semua terdiam,
mengisyaratkan untuk mencium tangan. Ya, mereka mencium tangan saya, sambil
berkata, “Selamat siang Pak Guru..” Ah, perkataan yang tulus yang membuat saya
melambung. Pak guru…Pak Guru, begitu ucap mereka satu persatu. Kursi roda
mereka berderak-derak setiap kali mereka mengayuhnya menuju ke arah saya.
Derak-derak itu kembali membuat saya terharu, membayangkan usaha mereka untuk
sekedar mencium tangan saya.

Anak yang terakhir telah mencium tangan saya. Kini, tatapan saya bergerak ke
samping, ke arah punggung anak-anak yang berjalan ke pintu keluar. Dalam diam
saya berucap, “..selamat jalan anak-anak, selamat jalan malaikat-malaikat
kecilku…” Saya membiarkan airmata yang menetes di sela-sela kelopak. Saya
biarkan bulir itu jatuh, untuk melukiskan perasaan haru dan bangga saya. Bangga
kepada perjuangan mereka, dan juga haru pada semangat yang mereka punya.

***

Teman, menjadi guru bukan pekerjaan mentereng. Menjadi guru juga bukan pekerjaan
yang gemerlap. Tak ada kerlap-kerlip lampu sorot yang memancar, juga
pendar-pendar cahaya setiap kali guru-guru itu sedang membaktikan diri. Sebab
mereka memang bukan para pesohor, bukan pula bintang panggung.

Namun, ada sesuatu yang mulia disana. Pada guru lah ada kerlap-kerlip cahaya
kebajikan dalam setiap nilai yang mereka ajarkan. Lewat guru lah memancar
pendar-pendar sinar keikhlasan dan ketulusan pada kerja yang mereka lakukan.
Merekalah sumber cahaya-cahaya itu, yang menyinari setiap hati anak-anak didik
mereka.

Dari gurulah kita belajar mengeja kata dan kalimat. Pada gurulah kita belajar
lamat-lamat bahasa dunia. Lewat guru, kita belajar budi pekerti, belajar
mengasah hati, dan menyelami nurani. Lewat guru pula kita mengerti tentang
banyak hal-hal yang tak kita pahami sebelumnya. Tak berlebihankah jika kita
menyebutnya sebagai pekerjaan yang mulia?

Teman, jika ingin merasakan pengalaman batin yang berbeda, cobalah menjadi guru.
Rasakan kenikmatan saat setiap anak-anak itu memanggil Anda dengan sebutan itu,
dan biarkan mata penuh perhatian itu memenuhi hati Anda. Ada sesuatu yang
berbeda disana. Cobalah. Rasakan.

Kisah 1001 Kelereng

Makin tua, aku makin menikmati Sabtu pagi. Mungkin karena adanya keheningan sunyi senyap sebab aku yang pertama bangun pagi, atau mungkin juga karena tak terkira gembiraku sebab tak usah masuk kerja. Apapun alasannya, beberapa jam pertama Sabtu pagi amat menyenangkan.

Beberapa minggu yang lalu, aku agak memaksa diriku ke dapur dengan membawa secangkir kopi hangat di satu tangan dan koran pagi itu di tangan lainnya. Apa yang biasa saya lakukan di Sabtu pagi, berubah menjadi saat yang tak terlupakan dalam hidup ini. Begini kisahnya.

Aku keraskan suara radioku untuk mendengarkan suatu acara Bincang-bincang Sabtu Pagi. Aku dengar seseorang agak tua dengan suara emasnya. Ia sedang berbicara mengenai seribu kelereng kepada seseorang di telpon yang dipanggil “Tom”. Aku tergelitik dan duduk ingin mendengarkan apa obrolannya.


“Dengar Tom, kedengarannya kau memang sibuk dengan pekerjamu. Aku yakin mereka menggajimu cukup banyak, tapi kan sangat sayang sekali kau harus meninggalkan rumah dan keluargamu terlalu sering. Sulit kupercaya kok ada anak muda yang harus bekerja 60 atau 70 jam seminggunya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Untuk menonton pertunjukan tarian putrimu pun kau tak sempat”.

Ia melanjutkan : “Biar kuceritakan ini, Tom, sesuatu yang membantuku mengatur dan menjaga prioritas apa yang yang harus kulakukan dalam hidupku”.

Lalu mulailah ia menerangkan teori “seribu kelereng” nya.” Begini Tom, suatu hari aku duduk-duduk dan mulai menghiitung-hitung. Kan umumnya orang rata-rata hidup 75 tahun. Ya aku tahu, ada yang lebih dan ada yang kurang, tapi secara rata-rata umumnya kan sekitar 75 tahun. Lalu, aku kalikan 75 ini dengan 52 dan mendapatkan angka 3900 yang merupakan jumlah semua hari Sabtu yang rata-rata dimiliki seseorang selama hidupnya. Sekarang perhatikan benar-benar Tom, aku mau beranjak ke hal yang lebih penting”.

“Tahu tidak, setelah aku berumur 55 tahun baru terpikir olehku semua detail ini”, sambungnya, “dan pada saat itu aku kan sudah melewatkan 2800 hari Sabtu. Aku terbiasa memikirkan, andaikata aku bisa hidup sampai 75 tahun, maka buatku cuma tersisa sekitar 1000 hari Sabtu yang masih bisa kunikmati”.

“Lalu aku pergi ketoko mainan dan membeli tiap butir kelereng yang ada. Aku butuh mengunjungi tiga toko, baru bisa mendapatkan 1000 kelereng itu. Kubawa pulang, kumasukkan dalam sebuah kotak plastik bening besar yang kuletakkan di tempat kerjaku, di samping radio. Setiap Sabtu sejak itu, aku selalu ambil sebutir kelereng dan membuangnya”.

“Aku alami, bahwa dengan mengawasi kelereng-kelereng itu menghilang, aku lebih memfokuskan diri pada hal-hal yang betul-betul penting dalam hidupku. Sungguh, tak ada yang lebih berharga daripada mengamati waktumu di dunia ini menghilang dan berkurang, untuk menolongmu membenahi dan meluruskan segala prioritas hidupmu”.

“Sekarang aku ingin memberikan pesan terakhir sebelum kuputuskan teleponmu dan mengajak keluar istriku tersayang untuk sarapan pagi. Pagi ini, kelereng terakhirku telah kuambil, kukeluarkan dari kotaknya. Aku berfikir, kalau aku sampai bertahan hingga Sabtu yang akan datang, maka Allah telah meberi aku dengan sedikit waktu tambahan ekstra untuk kuhabiskan dengan orang-orang yang kusayangi”.

“Senang sekali bisa berbicara denganmu, Tom. Aku harap kau bisa melewatkan lebih banyak waktu dengan orang-orang yang kau kasihi, dan aku berharap suatu saat bisa berjumpa denganmu. Selamat pagi!”

Saat dia berhenti, begitu sunyi hening, jatuhnya satu jarumpun bisa terdengar ! Untuk sejenak, bahkan moderator acara itupun membisu. Mungkin ia mau memberi para pendengarnya, kesempatan untuk memikirkan segalanya. Sebenarnya aku sudah merencanakan mau bekerja pagi itu, tetapi aku ganti acara, aku naik ke atas dan membangunkan istriku dengan sebuah kecupan.

“Ayo sayang, kuajak kau dan anak-anak ke luar, pergi sarapan”. “Lho, ada apa ini…?”, tanyanya tersenyum. “Ah, tidak ada apa-apa, tidak ada yang spesial”, jawabku, “Kan sudah cukup lama kita tidak melewatkan hari Sabtu dengan anak-anak ? Oh ya, nanti kita berhenti juga di toko mainan ya? Aku butuh beli kelereng.”


Dari setiap satu kelereng yang telah terbuang, apakah yang telah anda dapatkan ?

Apakah ……..
kesedihan
keraguan
kebosanan
rasa marah
putus asa
hambatan
permusuhan
pesimis
kegagalan ?

ataukah …….
kebahagiaan
kepercayaan
antusias
cinta kasih
motivasi
peluang
persahabatan
optimis
kesuksesan ?

Waktu akan berlalu dengan cepat. Tidak banyak kelereng yang tersisa dalam kantong anda saat ini. Gunakan secara bijak untuk memberikan kebahagiaan yang lebih baik bagi anda sendiri, keluarga, dan lingkungan anda.

Perbedaan kita dengan orang jepang "Bekerjalah dengan cinta"

Wanita paruh baya itu berperawakan pendek dan sedikit gemuk. Beberapa helai uban turut menghiasi mahkota kepalanya yang diikat dengan penjepit rambut. Namun raut wajah bulat telur itu seakan tak pernah sekalipun terlihat cemberut. Ia selalu tampak riang, sehingga menyembunyikan parasnya yang jelas telah digurati keriput.

Wanita itu memang tidak terlalu rentan, tetapi kekuatan dan kegesitan di masa mudanya niscaya telah direnggut usia. Karenanya, percayakah bahkan dari dirinya pun akan ada sebuah pelajaran tentang makna cinta?

* * *

Selalu…

Sabtu adalah hari yang ditunggu. Hari di mana nafas bisa dihela dengan panjang, dan sejenak mengistirahatkan raga dari rentetan kesibukan yang melelahkan. Saatnya pula untuk menikmati kebersamaan dengan seisi anggota keluarga. Sehingga, berbelanja di sebuah supermarket dekat rumah pun menjadi hiburan yang tak kalah meluahkan kebahagiaan.

Namun sepertinya tidak bagi wanita itu. Bagaikan tak mengenal hari libur, nyaris setiap waktu sosoknya selalu kutemui di sekitar kokusai kouryuu kaikan serta kampus.


Layaknya hari kerja, dikemasnya sampah-sampah yang berserakan serta dipisahkan antara yang terbakar dan tidak. Lantas ditaruhnya pada plastik yang berbeda warna. Sebentar kemudian diambilnya kain untuk mengelap kursi dan meja. Tak lupa, dengan vacuum cleaner dibersihkannya juga permukaan lantai. Setelah selesai ia segera beranjak ke toilet, lalu dengan mengenakan sarung tangan plastik dibersihkannya bekas kotoran manusia tersebut tanpa raut muka jijik.

Ia seperti tak peduli rasa lelah atau letih, walaupun terlihat pakaian seragam cleaning service biru mudanya telah basah bersimbah keringat. Tak juga kepenatan menyurutkan keramahannya untuk bertegur sapa dengan siapa saja saat bertemu muka.

Wanita itu entah siapa namanya. Hanya dengan panggilan obachan ia biasa disapa. Saat bersua denganku, juga selalu disempatkannya bertanya kabar. Bahkan ia pernah bercerita panjang lebar tentang anak-anak serta cucunya karena sering melihatku berjalan-jalan dengan keluarga. Beberapa kali pula saat usai kerja kulihat ia sedang berbelanja, masih lengkap dengan seragam biru mudanya. Lantas ditaruh barang-barang tersebut dikeranjang, dan perlahan dikayuhnya pedal sepeda tua untuk beranjak pulang.

Entahlah, rasanya tak ada perasaan iri dihatinya saat di hari libur ia ternyata harus bekerja, sementara aku justru berleha-leha. Ia bahkan tetap saja semangat bekerja dengan penuh suka cita. Begitu pula dengan obachan dan ojichan lain yang pernah kutemui, mereka selalu asyik menikmati pekerjaannya. Mencabut rumput liar di pekarangan kampus ketika musim panas, menyapu jalanan dari daun yang berserakan pada musim gugur, bahkan dengan bersusah payah turut menyerok tumpukan bongkahan salju di musim dingin.

Terlihat betapa bergairahnya mereka ketika memang waktunya harus bekerja. Gairah dalam bentuk kesungguhan dalam menekuni apapun jenis pekerjaan, yang mungkin tak dipandang orang walau dengan sebelah mata. Karenanya, tak terdengar ngalor-ngidul obrolan hingga jam istirahat tiba untuk sejenak melepaskan lapar dan dahaga. Berselang satu jam kemudian, mereka akan kembali sibuk menekuni pekerjaannya. Senantiasa egitu, dari waktu ke waktu.

Rutinitas mereka mungkin tidaklah istimewa. Bekerja demi memperoleh sedikit nafkah atau sekedar menghabiskan waktu luang, tentu lebih baik dari bermalas-malasan di rumah. Terlebih-lebih itu adalah pekerjaan kasar, bukan kerja kantoran yang menyenangkan dengan penyejuk atau pemanas ruangan.

Lalu mengapa mereka selalu saja bekerja seolah tak pupus oleh lelah? Bahkan bekerja bagaikan sebuah energi yang tak kunjung padam, mengalir dalam pembuluh darah serta menggerakkan jiwa dan raganya.

Sekejap akupun tepekur, kemudian mahsyuk merenung…

Dan kulihat ada gairah membara yang berpendar dari balik kerut-merut kelopak mata tua itu. Seolah sinar matanya menyiratkan pesan agar bekerjalah dengan cinta. Karena bila engkau tiada sanggup, maka tinggalkanlah. Kemudian ambil tempat di depan gapura candi untuk meminta sedekah dari mereka yang bekerja dengan suka cita. (Kahlil Gibran). Wallahu a’lamu bish-shawaab.
-Abu Aufa-

Catatan:
- Kokusai kouryuu kaikan: International House
- Obachan: wanita berumur, setengah tua
- Ojichan: pria berumur, setengah tua

Kisah Anak dan Ibu di jepang

Ini cerita dari Jepang kuno. Mudah2an bisa diambil hikmahnya...(cerita ini gw dapat dr buku pelajaran bhs Jepang)

Konon pada jaman dahulu, di Jepang ada semacam kebiasaan untuk membuang orang lanjut usia ke hutan. Mereka yang sudah lemah tak berdaya dibawa ke tengah hutan yang lebat, dan selanjutnya tidak diketahui lagi nasibnya.

Alkisah ada seorang anak yang membawa orang tuanya (seorang wanita tua) ke hutan untuk dibuang. Ibu ini sudah sangat tua, dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Si anak laki-laki ini menggendong ibu ini sampai ke tengah hutan. Selama dalam perjalanan, si ibu mematahkan ranting-ranting kecil. Setelah sampai di tengah hutan, si anak menurunkan ibu ini.
"Bu, kita sudah sampai",kata si anak. Ada perasaan sedih di hati si anak. Entah kenapa dia tega melakukannya.
Si ibu , dengan tatapan penuh kasih berkata:"Nak, Ibu sangat mengasihi dan mencintaimu. Sejak kamu kecil, Ibu memberikan semua kasih sayang dan cinta yang ibu miliki dengan tulus. Dan sampai detik ini pun kasih sayang dan cinta itu tidak berkurang.
Nak, Ibu tidak ingin kamu nanti pulang tersesat dan mendapat celaka di jalan. Makanya ibu tadi mematahkan ranting-ranting pohon, agar bisa kamu jadikan petunjuk jalan".
Demi mendengar kata-kata ibunya tadi, hancurlah hati si anak. Dia peluk ibunya erat-erat sambil menangis. Dia membawa kembali ibunya pulang, dan ,merawatnya dengan baik sampai ibunya meninggal dunia.

Mungkin cerita diatas hanya dongeng. Tapi di jaman sekarang, tak sedikit kita jumpai kejadian yang mirip cerita diatas. Banyak manula yang terabaikan, entah karena anak-anaknya sibuk bisnis dll. Orang tua terpinggirkan, dan hidup kesepian hingga ajal tiba. kadang hanya dimasukkan panti jompo, dan ditengok jkalau ada waktu saja.

Kiranya cerita diatas bisa membuka mata hati kita, untuk bisa mencintai orang tua dan manula. Mereka justru butuh perhatian lebih dari kita, disaat mereka menunggu waktu dipanggil Tuhan yang maha kuasa. Ingatlah perjuangan mereka pada waktu mereka muda, membesarkan kita dengan penuh kasih sayang, membekali kita hingga menjadi seperti sekarang ini.

Minggu, 13 November 2011

Kisah Tragis Oei Hui Lan, Putri Orang Terkaya di Indonesia

KISAH INI ADALAH KISAH NYATA PUTRI SANG RAJA GULA YANG IA TULIS DALAM BUKUNYA” TAK ADA PESTA YANG TAK BERAKHIR” . CUKUP MENARIK UNTUK DISIMAK DAN SEMOGA MEMBERIKAN ANDA ILHAM DALAM KEHIDUPAN..

OEI TIONG HAM ORANG TERKAYA DI ASIA TENGGARA

Oei Tiong Ham, yang dijuluki Raja Gula dari Semarang pernah jadi orang terkaya di Asia Tenggara. Ia juga berdagang candu. Berlainan dengan Tjong A Fie, ia tidak dikenal sebagai dermawan. Sekitar tiga dasawarsa yang lalu, putrinya Oei Hui Lan, bersama Isabella Taves, menulis memoar yang diterbitkan di Amerika Serikat. Dari buku berjudul No Feast Last Forever itu kita bisa tahu perihal kehidupan mereka, yang bisa membeli apa saja dengan uang mereka yang berlimpah. Namun apakah mereka berbahagia ?

Saya lahir di Semarang, Desember 1889 sebagai Oei Hui Lan, putri Oei Tiong Ham yang pernah dikenal sebagai Raja Gula dan oran terkaya di Asia Tenggara. Ibu saya istri pertamanya. Ibu hanya mempunyai dua orang anak, kedua duanya perempuan. Kakak saya Tjong lan, sepuluh tahun lebih tua dari saya. Ayah masih mempunyai 42 anak dari 18 gundik. Bagi orang Cina, anak gundik pun dianggap sebagai anak sah.

Saya duga, anak ayah lebih banyak daripada itu, tetapi cuma anak laki laki yang kelingkingnya bengkok yang diakuinya sebagai putranya. Kelingking bengkok diwarisi ayah dari ayahnya. Tjong Lan berkelingking bengkong. Kelingking saya lurus. Namun ayah tidak meragukan saya sebagai anaknya, sebab mana mungkin ibu saya serong dengan pria lain.

Wajah Kakek dianggap membawa Rezeki

Kakek saya Oei Tjie sien berasal dari Amoy, di daratan Cina. Pada masa mudanya ia senang bertualang. Ia terpelajar dan konon tampan seperti Raja Umberto dari Italia, tetapi seingat saya ia pendek dan gemuk.

Karena ikut pemberontakan Taiping, ia menjadi buronan pemerintah Mancu. Terpaksa ia kabur ke sebuah jung yang akan berangkat. Setelah berlayar berbulan-bulan, tibalah ia di Semarang, Jawa. Ia turun tanpa membawa uang sepeserpun dan pakaiannya hanya yang melekat di badan. Di tempat asing yang bahasanya sama sekali tidak dikenalnya itu, ia hanya bisa menawarkan tenaga mudanya.

Mula-mula ia bekerja di pelabuhan, menghela jung-jung yang kandas di lumpur. Ia menyewa penginapan murah tempat para pendatang Cina tidur menggeletak di lantai papan. Pada suatu malam, pemilik gubuk bambu itu melihat pemuda yang sedang tidur kelelahan itu. Wajah pemuda itu dianggapnya membawa rezeki. Pemilik gubuk kebetulan mempunyai banyak anak perempuan. Pemuda itu dibangunkannya untuk dilamar menjadi menantunya. Oei Tjie sien mau saja. Calon istrinya baru berumur 15 tahun, tubuhnya kuat dan sifatnya penurut.

Mereka menikah tanpa pesta apa pun. Perempuan muda itu bekerja keras membantu suaminya. Ia melahirkan tiga anak putra (yang seorang meninggal saat masih bayi) dan empat putri. Sementara itu Oei Tjie Sien keluar masuk kampung memikul barang kelontong. Kadangkadang dari kampung ia membawa beras untuk dijual di kota.

Lama kelamaan , ia menjadi makmur berkat beras. Dikirimkannya uang ke Cina untuk membeli pengampunan, sehingga ia bisa berkunjung ke cina, sekalian memperkenalkan putra sulungnya, Oei Tiong Ham, kepada orang tuanya. Petama kali diajak ke Cina itu, umur ayah baru tujuh tahun. Ia lahir 19 November 1866.

Potong Kuncir Lalu ke Eropa

Kakek berakar di Jawa. Anak-anaknya, bisnisnya dan bahkan makamnya pun ada di pulau itu. Namun ia selalu menganggap dirinya orang Cina dan disebut singkeh, tamu baru. Ia hidup seperti di Amoy, makan makanan Hokkian saja, berbahasa Hokkian saja (ia paham bahasa Melayu tetapi cuma bisa mengucapkan beberapa kata) dan selalu memakai pakaian cina. Karyawannya semua orang Cina, yang berhitung dengan sempoa.

Nenek saya tidak pernah keluar rumah, kecuali kalau ada upacara pembersihan makam keluarga. Kegiatannya cuma main mahyong dan kadang kadang mengisap pipa air. Ia tidak pernah mengunyah sirih, berlainan dengan nenek saya dari pihak ibu.

Namun kakek saya Oei Tjie Sein dan tanda tangannya pun Oei Tjie Sein. Namun ia ingin disebut Kiangwan. Perusahaannya disebut Kian gwan kongsi. Anehnya nenek saya menganggap dirinya Kong si. Jadi kalau menyuruh pelayan umpamanya, ia berkata ,”Kongsi ingin anu.” Kalu berbicara dengan ayah umpamanya, ia berkata Kongsi tidak suka anu.” Ayah juga kemudian memilih anam Tai gawan.

Menjelang lanjut usia, kakek lebih banyak berada di rumah peristirahatannya di luar kota, ketimbang di rumah lamanya di pecinan, walaupun kantornya tetap disana. Soalnya, ia mempunyai dua gundik yang ditempatkan di rumah peristirahatannya itu. Gundik yang seorang adalah seorang perempuan cina yang cantik, yang kulitnya putih mulus seperti porselin dan rambutnya hitam lebat. Kalau sanggulnya dilepas, rambutnya terurai mencapai mata kaki. Kakek lekas bosan kepadanya. Perempuan itu ditempatkannya di sebuah rumah kecil di lahan kakek yang luas itu. Makanan dan pakaiannya dicukupi. Keluarganya boleh menjenguk sekali sekali. Namun apalah artinya kalau kakek tidak pernah mengunjunginya. Saya heran perempuan muda itu bisa bertahan agar tidak menjadi gila.

Di rumah utama, kakek tinggal dengan seorang gundik yang paling dikasihinya. Perempuan itu berkulit hitam dan wajahnya buruk. Ia bertelanjang kaki, mengenakan sarung dan tidak bisa berbahasa Cina. Mereka memiliki dua orang anak yang kulitnya berwarna terang. Saya tidak pernah melihatnya, sebab ketika kakek meninggal ayah memberikan uang dan menyuruhnya pergi bersama anak anaknya, yang tidak diakui ayah sebagai saudaranya. Gundik kakek yang cantik dinikahkan dengan seorang karyawan ayah.

Nenek tidak penah diundang kakek ke rumah peristirahatannya. Walaupun nenek ingin sekali datang. Dekat rumah itu, kakek sudah menyediakan mausoleum untuk makamnya, yang dibangun selama 25 tahun. Nenek meninggal lebih dulu daripada kakek. Ketika kakek meninggal, ia mewariskan 10 juta gulden atau kira kira AS$ 7 juta. Buat ukuran jawa waktu itu, jumlah itu besar sekali.

Saat itu ayah sendiri sudah kaya. Jadi ia meminta kakek menyerahkan rumah besar di Pecinan kepada adik ayah, yang lebih suka menjadi seniman daripada pedagang. Adik-adik ayah yang perempuan mendapat warisan juga. Sejumlah uang disisihkan pula untuk menolong orang orang bermarga Oei yang memerlukan bantuan.

Sesudah kakek meninggal, ayah menjadi kepala keluarga besar kami dan kami pun bebas melakukan hal-hal yang tadinya dilarang kakek. Yang pertama dilakukan ayah adalah meminta izin khusus kepada penguasa Belanda untuk memotong jalinan rambutnya. Kami pun berkunjung ke Eropa untuk perama kalinya. Masa itu perjalanan dengan kapal makan waktu 35 hari. Bagi kakek, dunia ini cuma Cina, tetapi dunia ayah lebih luas.

Janda Yang Baik Hati

Sebelum ayah mulai berusaha mencari nafkah sendiri, ia membantu kakek. Salah satu tugasnya adalah mengumpulkan uang sewa rumah. Suatu hari, setelah berhasil menggantungi 10,000 gulden, ia lewat ke tempat perjudian dan tidak bisa mengekang nafsunya untuk berjudi. Uang bawaannya amblas.

Keluar dari rumah perjudian, baru ia insaf apa akibat kekalahannya di meja jugi itu. Ia tidak punya muka untuk berhadapan dengan ayahnya karena telah berani mempergunakan uang yang bukan miliknya. Kakek bukan hanya tidak suka pada perjudian, tetapi juga keras terhadap anak. Ayah merasa dirinya hina dan bermaksud menceburkan diri dari jembatan. Namun ia ingin mengucapkan selamat berpisah dulu dari kekasihnya, seorang Janda. Janda itu mendesak ayah untuk menerima uangnya sebanyak 10,000 gulden. Akhirnya, ayah mau juga menerimanya. Kebaikan janda itu tidak pernah dilupakan ayah. Ia bukan cuma mengembalikan uang itu, tetapi juga menjamin hidup janda yang menyelamatkan nyawanya itu.

Kakek selalu hidup hemat, ayah sebaliknya. Kakek sering memarahi ayah karena kesenangannya bermewah mewah itu. Suatu hari, karena kesel dimarahi, ayah berkata kepada nenek,“Suatu hari kelak, saya akan lima puluh kali lebih kaya daripada ayah.“Hal itu memang terlaksana.

Mulanya begini: Salah sebuah rumah milik kakek ditinggali seorang Jerman yang sudah lanjut usia. Mantan konsul itu ingin sekali membeli rumah dengan tanah luas yang mengelilinginya itu, tetapi kakek tidak mau menjualnya. Menurut orang Cina, menjual salah satu miliknya berarti kehilangan gengsi. Jadi mantan konsul itu mendekati ayah yang diketahuinya akan mewarisi rumah dan tanah itu.

Saya akan memberi Anda sejumlah uang yang bisa Anda tanamkan sekehendak hati,“usul orang Jerman itu.“Kalau uang itu amblas, saya tidak akan mengeluh. Kalau berkembang sampai sepuluh kali lipat atau lebih, berikanlah rumah dan tanah itu untuk saya pergunakan seumur hidup.

Pada dasarnya ayah seorang penjudi. Ia selalu yakin nasib baik berada ditangannya. Karena itu ia juga lebih suka mempunyai karyawan yang kepandaiannya sedang sedang saja tetapi rezekinya besar daripada memperkerjakan orang yang pandai yang tidak mempunyai hoki. Namun selain mengandalkan hoki, tentu saja ia juga pandai melihat situasi dan memanfaatkannya.

Tawaran dari mantan konsul itu sama saja dengan tantangan untuk berjudi. Jadi ia bertanya berapa jumlah uang yang akan diberikan oleh bekas konsul. Jawabannya mencengangkan dia: AS$ 300,000. Ayah segera setuju, tetapi tidak berburu nafsu menanamkan uangnya. Ia berpikir ayahnya menjadi kaya berkat beras. Jawa memang cocok ditanami padi, sementara itu tenaga kerja dan lahan murah. Tebu juga terbukti cocok ditanam di tanah Jawa. Jadi, ayah membeli lahan luas untuk ditanami tebu. Masa itu Revolusi Industri belum sampai ke Jawa, tetapi ayah sudah mendengarnya,. Ia mendatangkan ahli ahli dari Jerman untuk memberi nasihat perihal mesin mesin yang diperlukan untuk bercocok tanam dan mengolah tebu menjadi gula. Ia mendatangkan mesin mesin dan lewat mantan konsul ia juga mengirimkan pemuda pemuda ke Eropa untuk belajar menjalankan mesin mesin itu dan membetulkannya.

Suksesnya berkesinambungan sebab ia tidak pernah puas. Ia peka terhadap setiap pembaharuan dan gagasan, sehingga tidak henti hentinya menyekolahkan karyawan ke luar negeri supaya bisa mempelajari hal hal yang baru. Mesin mesinnya terus diperbaharui dan pabriknya mendapat aliran lsitrik lebih dulu daripada kediamannya.

Ayah berkata kepada saya,”Jangan mau jadi orang biasa biasa saja. Kita mesti menjadi orang nomor satu.” Kemudian ayah melebarkan sayapnya ke luar negeri dan ke bidang bidang lainnya seperti kopra. Sekali ia menunjukkan kepada saya perkebunan kopranya di luar kota Singapura. Saya berseru kagum ketika melihat tanaman indah itu. Ayah berkata,”Orang lain melihat pohon, aku melihat uang. Pohon kelapa tidak meminta banyak perawatan, tetapi mendatangkan banyak uang.”

Menurut saya, ayah bukan cuma berhasil berkat hoki, tetapi terutama oleh kepercayaan dirinya yang timbul karena ia menguasai bidang yang ia geluti. Akibatnya ia bisa cepat memutuskan segala sesuatu . Ia juga memiliki kepekaan untuk memilih waktu yang tepat.

Membuka Perwakilan di Wallstreet

Pada kunjungan kami yang pertama di Eropa, ayah membuka kantor perjualan di London dan Amsterdam. Untuk mewakilinya di Amsterdam, ayah memperkerjakan seorang Belanda bernama Peters, yang selalu saya panggil Pietro. Ayah mempunyai kapal-kapal sendiri untuk mengangkut gula, kopra, dan tepung kanji. Ayah yang tidak bisa berbahasa belanda, inggris, maupun Perancis itu kemudian membuka perwakilan di Wallstreet, New York.

Asal Muasal ia mengusahakan tapioka itu begini: suatu ketika seorang pemilik pabrik tapioka di Semarang ingin menjual pabriknya yang merugi terus. Ayah menukarkannya dengan sebuah rumah kecil. Pabrik itu diperbaikinya dan dilengkapinya dengan mesin mesin. Tidak lama kemudian ia sudah menjual 1,5 juta ton tapioka ke Asia Timur laut.

Ketika kakek meninggal, ayah menerima warisan rumah mantan konsul jerman itu. Sebetulnya ayah bisa membayar kembali uang pinjamannya beberapa kali lipat, namun ia menepati janjinya.

Bandul intan 80 karat

Ketika ayah saya menjadi kayaraya dan mendapat gelar kehormatan Majoor der Chinezen (1901) , saya sering ikut dengannya melakukan perjalanan perjalanan bisnis. Ayah berpesan kepada para sekretarisnya.,”Belikan dia semua yang diinginkannya”. Saya pun terbiasa untuk diistimewakan, untuk menyimpang dari peraturan yang berlaku dan untuk mengharapkan semua orang tahu bahwa saya anak ayah yang berkuasa.

Tidak ada seorang anak Belanda pun yang memiliki rumah boneka seindah kepunyaan saya. Tingginya sedagu saya, dibeli Pietro di Eropa. Saya bisa merangkak masuk ke dalamnya. Perlengkapannya komplet dan penuh detail. Di kamar mandinya ada handuk yang serasi. Ranjangnya memakai per dan kasur. Dalam lemari pakaiannya bergantungan pakaian boneka boneka saya. Di dapurnya ada panci, alat penggoreng, garpu dan pisau.

Di belakang rumah kami ada kebun binatang, berisi kera, rusa, beruang, kasuari, dll. Kalau ayah kembali dari bepergian, ia selalu membawa hadiah untuk saya spasang kuda poni, sepasang anjing chihuahua, boneka atau apasaja.

Umur saya belum tiga tahun ketika ibu mengalungkan bandulan intan 80 karat ke leher saya. Besar intan itu sekepalan tangan saya dan tentu saja menganggu gerak gerik dan bahkan menyakitkan saya. Namun ibu tidak perduli. Suatu hari ketika pengasuh memandikan saya, ibu melihat dada saya luka akibat intan itu. Barulah ibu melepaskannya. Sampai buku ini ditulis. Intan itu masih saya miliki, tersimpan di sebuah bank di London.

Jago Menyogok, tapi pantang disogok.

8711_smallKetika masih kecil, saya pernah ikut ayah ke Penang. Kakak saya Tjong Lan tidak dekat dengan ayah. Ia bahkan takut. Di Penang,s aya tinggal di kapal saat ayah turun ke darat. Kemudian datanglah seorang lanjut usia ke kapal, menyerahkan sekotak uang emas kepada saya, sambil membungkukkan badannya dalam dalam. Saya tidak tahu benda itu uang emas inggris, yg nilainya 200,000 poundsterling. Saya kira cuma mainan. Waktu ayah datang saya sedang bermain main dengan uang itu. Ayah bertanya darimana saya mendapatkannya. Ia segera menyuruh orang mengembalikan uang itu.

Rupanya pria lanjut usia yang naik ke kapal itu bermaksud menyogok ayah dengan memberi hadiah berharga kepada anak kesayangan ayah. Ayah pantang disogok, padahal ia sering menyogok pejabat pejabat Belanda supaya usahanya lancar.

Ayah juga tidak percaya kegunaaan pengawal pribadi. Ia lebih yakin pada caranya sendiri. Setiap tahun ia memberi sejumlah uang kepada kelompok bandit yang paling berpengaruh, untuk menangkal gangguan maling dan pembunuh. Usahanya berhasil.

Keluarga kami merupakan satu satunya keluarga Cina yang tinggal di luar pecinan. Masa itu kadang kadang orang Cina diolok olok anakanak belanda yang bubar dari sekolah. Ayah mempunyai cara untuk menanggulanginya. Ia turun dari kereta, lalu mendekati anak yang paling besar. Kelihatannya kami pemimpin mereka,”katanya seraya mengangsurkan sekeping uang emas.”Tolong urus mereka.”

Uangnya dikoporkan

Ayah selalu berpakaian rapi, di luar maupun di dalam rumah. Kalau keluar, ia selalu mengenakan setelan jas putih. Sepatunya pun putih. Di dalam rumah ia memakai celana dari bahan batik dan jas tutup cina.

Kejantanan dihargai tinggi di kalangan orang Cina. Seorang pria Cina boleh memiliki gundik sebanyak yang ia mampu. Kadang kadang istri pertama mencarikan gundik bagi suaminya, tetapi ibu saya tidak sudi melakukan hal semua itu. Ibu saya bernama Bing Nio, yang kalau diterjemahkan ke bahasa Inggris sama dengan Victoria. Ia berasal dari keluarga Goei. Dalam keluarga itu, kaum prianya bertubuh besar, tetapi kaum perempuannya bertubuh kecil. Nenek moyangnya berasal dari Shantung, tetapi sudah bergenerasi generasi mereka tinggal di Jawa. Nenek saya melahirkan 5 putri dan empat putra. Kelima putrinya cantik-cantik. Yang paling cantik ibu saya. Kakek saya bekerja di bank dengan penghasilan tidak seberapa.

Nenek saya dari pihak ayah mencarikan gadis paling cantik di pecinan untuk dijadikan isteri ayah. Dari para comblang ia mendengar perihal kecantikan ibu saya. Jadi ketika ibu berumur 15 tahun, Nenek Oei mengirimkan tandu keemasan untuk menjemputnya. Tandu itu berarti orang tua phak laki laki menginginkan ia menjadi menantunya. Pengantin perempuan tiba di rumah mertuanya dengan ditandu oleh empat orang. Ia melakukan kowtow, yaitu berlutut dan menundukkan kepala sampai dahi menyentuh lantai di hadapan mertuanya. Sampai saat itu pengantin wanita belum pernah melihat calon suaminya, tetapi sejak itu hanya maut yang bisa melepaskannya dari ikatan pernikahan. Pada masa itu perceraian tidak pernah tejadi, kecuali kalau pihak perempuan melakukan salah satu dari tujuh dosa tidak berampun.

Ayah menerima saja tradisi ini. Tidak terpikir olehnya untuk menceraikan ibu yang tidak memberikan anak laki laki. Cuma saja ia terus menerus menambah gundik dan banyak di antara gundiknya itu yang memberinya anak laki laki. Ia juga tidak pernah tinggal dengan salah seorang gundiknya itu, sampai muncul seorang gundik bernama Lucy Ho, dalam hidupnya.

Karena tidak mempunyai anak laki laki, ibu terus menerus merasa dirinya memiliki kekurangan dan frustasi. Ayah tidak pernah menolak permintaaannya akan kebendaan, bahkan juga setelah ibu meninggalkan ayah untuk tinggal bersama saya di London. Ibu sering mengirim kawat untuk meminta uang.”Kirim empat,”artinya ia meminta 4,000 poundsterling yang masa itu setara dengan AS$ 25,000. Tanpa banyak cingcong, ayah akan mengirimkan uang sebanyak yang diminta.

Pernah ketika masih tinggal di Semarang, ketika saya berumur kira kira 12 tahun, saya terbangun oleh bunyi petir. Saya berlari masuk ke kamar ibu. Ia sedang duduk di ranjang, menghitung setumpuk tinggi uang di bawah kelap kelip lampu minyak. Saya begitu terpesona sampai melupakan ketakutan saya. Ibu tersenyum dan berbisik,”Ayahmu pulang membawa sekoper uang. Aku mengambilnya sebagian. Ia tidak pernah menyadarinya.

Saya heran mengapa ibu tidak meminta saja: Saya yakin ayah akan memberikannya. Mungkin ibu tidak mau ayah tahu untuk apa uang itu. Pada masa itu kami tidak pernah membawa bawa uang. Kalau kami menginginkan sesuatu, kami tinggal mengambilnya saja di toko dan pemilik toko akan menagihnya kepada ayah. Saya rasa ibu memberikan uang itu kepada keluarganya sendiri. Perempuan cina yang tidak mempunyai anak laki laki memang memerlukan segala cara untuk membangun egonya, kalau perlu dengan membeli. Kalau cuma untuk mencukupi kebutuhan keluarga secara wajar saja, saya yakin ia tidak perlu melakukan perbuatan itu. Namun kakek saya dari pihak ibu pecandu, sedangkan suami dari beberapa saudara perempuannya sering berurusan dengan pihak berwajib.

Ayah saya lahir pada tahun harimau, sedangkan ibu pada tahun naga. Mereka sama sama tidak mau tunduk. Namun ibu menyukai status sebagai isteri ayah. Ia mencintai perhiasannya. Di luar rumah ia dianggap tokoh penting. Kalau ia pergi menonton sandiwara, para pemain berlutut di hadapannya seusai pertunjukan. Lantas ibu akan memberikan tip yang besar sekali.

Kalau pulang bertamu dari rumah nyonya belanda, sering bajunya cuma disemat dengan peniti biasa, karena penitinya yang bertaburkan permata ia hadiahkan kepada nyonya rumah yang mengagumi perhiasannya itu. Ayah akan membelikannya yang baru. Yang perlu ia lakukan hanya meminta.

Bersaudara 42 orang

Saya tidak begitu kenal saudara ibu. Seorang saudara perempuannya, menikah dengan seorang pria yang cukup berada, tetapi tidak dikaruniai anak. Jadi, bibi saya itu mengangkat dua anak perempuan, yaitu anak saudara suaminya. Bertahun tahun kemudian, ternyata kedua anak angkatnya itu menjadi gundik ayah. Yang seorang Cuma bertahan sebentar, karena ia minggat dengan sopirnya, seorang pribumi. Adiknya tidak begitu cantik, tetapi tubuhnya indah dan ia pandai, namanya Lucy Ho.

Setelah ibu meninggalkan ayah untuk tinggal bersama saya di London, ayah dan Lucy Ho pindah ke Singapura. Ayah keluar dari Jawa untuk menghindari pajak. Lucy gundik yang penuh pengabdian. Ia mengurusi keuangan dengan cermat dan ia memberi anak kepada ayah setiap tahun. Anak laki lakinya banyak. Setelah tinggal dengan dia, ayah berubah. Walaupun uangnya tetap banyak, ia tidak hidup mewah seperti yang disukainya semasa di Jawa.

Ironisnya dari keluarga semacam kami ialah Putri Lucy yang sudah dewasa suatu hari ketika bertemu dengan putri Tjong Swan (Saudara saya berlainan ibu) di New York. Mereka jatuh cinta, tetapi tidak diperkenankan menikah oleh hukum AS, sebab ayah si pemuda adalah kakek si gadis. Mereka akhirnya menikah juga di Belanda. Mungkin hal itu bisa terlaksana berkat pengaruh Tjong Hauw., adik saya berlainan ibu juga.

Di antara 42 saudara saya tidak seibu, hanya Tjong Swan dan Tjong Hauw yang cukup dekat dengan saya. Keduanya diserahi mengurus usaha ayah di Jawa, ketika ayah sudah pindah ke Singapura. Tjong Hauw diperoleh ayah dari seorang perempuan yang ditipunya. Perempuan itu berasal dari udik. Ia tidak mau dijadikan gundik. Ia ingin dijadikan istri. Ayah setuju, perempuan itu dijemput dengan tandu. Namun di rumah tempat ia dibawa dilihatnya tidak ada pesta, tidak ada mertua. Walaupun demikian ia tidak bisa kembali ke orangtuanya sebab akan memberi aib. Hampir saja ia gila. Walaupun ia memberi ayah empat putra, ayah memperlakukannya dengan kejam. Sebelum ia disingkirkan, ayah menyuruhnya menjahitkan kelambu untuk gundik berikutnya.

Bandot

Sebelumnya ayah saya sudah menjadikan seorang janda sebagai gundiknya. Ny Kiam membawa serta adik perempuannya yang berumur kira kira sepuluh tahun dan seorang anak perempuannya yang berumur dua atau tiga tahun. Ny Kiam sangat mencintai ayah, tetapi ia tidak memberi ayah keturunan. Ketika adiknya berumur 15 atau 16 tahun, ayah menjadikannya gundiknya. Perempuan itu melahirkan lima anak laki laki dan empat anak perempuan.

Karyawan ayah menyebutnya isteri nomor dua. Di rumah kami tidak ada yang berani mempergunakan sebutan itu, karena ibu tidak menyukainya. Kenyataannya ia memberi ayah banyak anak laki laki. Ayah tidak menyukai putranya yang pertama karena sangat dimanjakan oleh ibunya. Ayah memilih putranya yang kedua Tjong Swan untuk menjadi andalannya di samping Tjong Hauw.

Lama setelah itu,, ketika saya sudah menikah dengan Wellington Koo dan singgah di Penang dalam perjalanan dari London menuju Beijing, dua orang perempuan wajahnya menyenangkan menemui saya,”Kami adik adikmu,”kata salah seorang diantaranya sambil tersenyum. Ternyata mereka itu putri putri ayah dari cucu Ny. Kiam. Rupanya ketika ayah sudah bosan pada istri nomor dua (adik Ny. Kiam), ayah menyingkirkannya untuk digantikan oleh anak Ny. Kiam, yang ketika ibunya menjadi gundik ayah masih berumur 2 atau 3 tahun. Putri Ny. Kiam itu mempunyai dua anak perempuan dan kedua duanya berkelingking bengkok. Kedua duanya menikah dengan orang berada. Kata mereka, nenek mereka masih tinggal di rumah pemberian ayah di Jawa.

Tahun 1927, Ketika saya kembali ke Jawa untuk menghadiri pemakaman ayah, Ny. Kiam mendekati saya dengan kemalu-maluan. Ia memanggil saya Nona dan menyerahkan gigi palsu ayah yang rupanya ia simpan bertahun tahun untuk dimasukkan ke liang kuburnya. Saya turuti kemauannya, sebab saya pikir ayah akan menganggapnya lucu.

Berlainan dengan Ny. Kiam, gundik yang dulu ditipu ayah itu, yang melahirkan Tjong Hauw, tidak datang ke pemakaman. Saya mengunjunginya di rumahnya. Saya lihat ia masih memakai pending bertatahkan intan pemberian ayah: Rupanya walaupun ia diperlakukan dengan buruk oleh ayah, ayah tidak membiarkannya telantar.

Saya ingat, semasa kecil, saya keras dibawa ayah ke rumah gundik gundiknya. Mereka tentu berusaha mengambil hati saya, supaya ayah senang. Namun, ketika ibu tahu, ayah dimaki makinya. Ibu kemudian minggat dari rumah dengan membawa saya. Saya sakit keras dan dokter yang merawat saya memberitahu ayah. Ketika itu ibu tetap tidak mau kembali. Ia baru pulang 2 bulan kemudian ke rumah kami yang seperti istana.

Menjamu Raja Siam

Rumah kami terletak di atas lahan yang luasnya lebih dari 93 ha. Rumah model cina ini mempunyai taman yang dirancang khusus dengan kolam kolam dan jembatan jembatan. Tukang kebun kami memiliki lima puluh anak buah. Dapur kami ada tiga. Ibu mempunyai juru masak sendiri, yang keahliannya memasak makanan Indonesia, sebab Ibu menyukai masakan indonesia. Ayah menyukai masakan Cina dan Eropa. Dapur untuk memasak makanan Eropa dikuasai oleh mantan koki kepala gubernur jenderal. Di situ tergantung daging impor dari Australia. Tidak seorangpun diperkenankan masuk ke sana oleh mantan koki gubjen itu. Saya pernah iseng memasukkan anjing besar ke sana yang lantas menggondol daging impor. Dapur ketiga diurus oleh dua orang koki Cina.

Jauh di belakang ada perumahan para pelayan. Masih ada lagi rumah untuk guru pribadi kami (nona Jones), koki kami, tukang pijit ibu, dan tukang cuci pakaian ibu. Untuk para tamu tersedia dua pavilyun.

Ayah sering menjamu dan perjamuannya tidak tanggung tanggung. Kami pernah menjamu raja Siam berikut haremnya. Kami pun pernah diundang makan di kediaman gubernur jenderal Hindia Belanda.

Tjong Lan dan saya tidak bersekolah di sekolah umum, padahal sebenarnya saya ingin memiliki teman teman sebaya. Paling paling saya bisa bermain ke rumah keluarga Belanda yang tinggal di lahan kami, Ibu pun tidak pernah mengundang anak saudara saudaranya ke rumah kami.

Banyak yang diundang, tidak ada yang datang

Ketika saya berumur 15 tahun, saya katakan kepada ayah, saya ingin mengadakan pesta dansa bergaya inggris, seperti yang saya baca di The Tatler. Ayah memperbolehkan. Memang saya diistimewakan, karena dianggap membawa rezeki, bintangnya naik terus setelah kelahiran saya.

Ayah menyewa 16 pemain musik yang dulu disewanya untuk perjamuan raja Siam. Kamar makan kami dan pavilyunpanjang disiapkan untuk berdansa. Ayah secara santai juga menyampaikan kepada para rekanan dagangnya agar mendatangkan anak anak mereka ke pesta saya.

Hari besar itu pun tiba. Para pemain musik datang dan menunjukkan kebolehannya, tetapi tidak ada seorang tamu pun yang datang. Saya menangis dan ayah marah sekali kepada para rekanannya. Kalau saya ingat lagi peristiwa itu. Saya pikir, kami juga yang salah. Mestinya kami mengirimkan kartu undangan resmi, sehingga mereka akan memberi tahu kalau tidak datang.

Untuk meredakan kemarahan ayah, pengacaranya Baron van Heeckeren mengusahakan agar putri putrinya mengadakan pesta dansa untuk menghormati saya, dengan mengundang teman teman Belanda. Saya yakin maksud mereka baik, tetapi saya terlalu angkuh untuk hadir.

Dicekoki Bahasa Inggris

Waktu kami pergi ke Belanda saya puasa juga karena ternyata Bahasa Belanda saya lumayan. Kemudian ketika sudah menjadi isteri Wellington Koo dan suama saya dijadikan duta Cina di AS, bahasa Belanda itu masih ada gunanya. Pernah kami mengundang pemain film termasyhur waktu itu Tyrone Power dan isterinya Linda Christian. Linda yang pemalu itu berasal dari Belanda. Ia begitu tercengang mendapatkan isteri duta Cina bisa berbahasa Belanda.

Di Rumah , ayah biasa berbahasa Hokkian, tetapi dengan saya ia berbahasa Indonesia. Bahasa pertama yang saya pelajari lewat pengasuh saya. Kemudian kakak saya mendapat pengasuh yang diimpor dari Prancis dan kami belajar bahasa Perancis. Ayah meminta Pietro mendatangkan guru pribadi buat kami dari Eropa dan datanglah seorang Inggris, Nona Elizabeth Jones yang mencekokkan bahasa Inggris kepada kami. Akhirnya saya lancar berbahasa Inggris dan tetap menjadi anak didiknya sampai saya meninggalkan jawa untuk tinggal di Inggris pada umur 15 atau 16 tahun.

Lewat tengah hari, kalau Tjong Lan dan saya sudah selesai belajar dari Nona Jones, datanglah pelbagai guru pribadi. Ada yang mengajarkan kaligrafi, seni berbicara, tarian cina klasik dan juga musik. Ibu ngin anak anaknya tidak pemalu dan pandai bergaul, supaya bisa memperoleh suami yang hebat. Saya pun disuruh belajar menunggang kuda di Singapura.

Tjong Lan lebih tertutup daripada saya. Ketika masih berumur belasan tahun, ia jatuh cinta dntgan seorang dokter muda. Ibu melakukan penjajakan lewat comblang. Ternyata keluarga pria itu ingin ayah membiayai praktek putranya. Ayah marah, ia tidak mau membli menantu. Kalau saja Ibu mau menolong Tjong Lan, mungkin ayah bisa dibujuk, tetapi ibu sependapat dengan ayah.

Mula mula Norak

Ibu tidak suka ikut dengan ayah meninjau perkebunan, tetapi saya sering dibawa serta. Ibu baru ikut kalau ayah pergi ke luar negeri. Waktu kami sekeluarga pergi ke Eropa untuk pertama kalinya, kami membawa serta beberapa pelayan. Pietro menjadi juru bahasa ayah dalam mengadakan pelbagai transaksi, sedangkan isterinya yang bisa berbahasa Indonesia sedikit, mengantar ibu dan Tjonglan berbelanja.

Ibu menyingkirkan pakaian Cinanya untuk diganti dengan pakaian Eropa. Masa itu kami jauh dari anggun. Kemana mana kami beriring iringan dengan beberapa mobil atau kereta. Selera Pietro pun tidak halus, padahal kami mengandalkan petunjuknya. Kami tinggal di hotel hotel kelas dua seperti Charing Cross di London dan Grand di Paris, meskipun seluruh lantai diborong. Ketika kami ke AS , ayah sudah berpengalaman. Kami tinggal di Waldorf Astoria.

Setahun lamanya kami tinggal di Luar negeri. Ayah dan Pietro bekerja sedangkan ibu dan Tjong Lan keluar masuk toko. Ibu tidak mau membeli barang sembarangan. Ia selalu ingin paling top. Kalau sudah bosan berbelanja, mereka masuk ke salon kecantikan. Malamnya, ibu, ayah, Tjong Lan dan Pietro makan di restoran dan pergi ke kelab malam. Sementara itu saya kesepian di hotel. Kadang kadang saya ditemani oleh Ny. Pietro. Sementara itu para pelayan makan makanan Indonesia yang mereka masak sendiri. Bahan bahannya dibelikan oleh Pietro.

Lama kemudian, ketika saya sudah menjadi isteri Wellington Koo, saya sering geli mengingat betapa naif dan tidak anggunnya kami masa itu. Saya membayangkan betapa tercengangnya orang orang Eropa melihat ibu dan Tjong lan keluyuran memakai perhiasan Intan, mirah dan Zamrud serta seenaknya memesan barang mahal tanpa menanyakan dulu harganya.

Mobil Ditarik Sapi.

Ketika kami masih tinggal di Semarang, Tjong Lan yang waktu itu berumur 18 tahun dijodohkan dengan putra teman ibu. Teman ibu di Jakarta itu mempunyai putra yang baru pulang dari Belanda. Ia lancar berbahasa Belanda, Inggris dan Perancis. Namanya Ting Liang dari keluarga Kan yang kaya dan terkemuka. Mereka menikah di rumah kami. Keluarga ibu tidak diundang, sebab ayah marah kepada mereka.

Setelah Tjong Lan menikah, ibu bercerita kepada saya bahwa ia menguatkan hatinya untuk tetap tinggal di rumah kami, supaya Tjong Lan bisa menikah di rumah itu. Tjong Lan dan suaminya pergi ke Eropa selama setahun dan ketika kembali mereka membawa mobil kecil buatan perancis. Masa itu belum ada mobil di tempat kami. Suatu hari saya mencuri curi mengendarainya dan menabrak pohon.

Begitu melihat mobil Tjong Lan, ayah segera memesan mobil Lancia yang besar dari Inggris, untuk mengemudikannya, ayah mendatangkan sopir dari Jakarta, yang berpengalaman mengemudi di Singapura. Bila dipakai di jalan rata, Lancia itu tidak merongrong, tetapi begitu mendaki bukit ia tidak kuat menanjak, sehingga sopir harus pergi meminjam 4 ekor sapi untuk menghelanya ke rumah kakek atau ke pesangrahan ibu.

Kemudian ayah mengimpor sopir dari Inggris, namanya Powell. Anehnya, sejak dikemudikan Powell, mobil itu bisa menanjak tanpa bantuan ternak. Jangan jangan sopir lama tidak tahu kalau mobil perlu ganti gigi supaya bisa menanjak.

Tjong Lan tinggal dalam sebuah rumah dalam lingkunganhalaman kami juga. Para pelayannya semua dari rumah kami, makanan untuknya dan untuk suaminya dibawakan dari tempat kami. Sya bisa mengerti kalau suaminya tidak betah dan tidak mau bekerja di perusahaan ayah. Ia ingin menjadi dokter dan ayah mengirimkannya ke Eropa. Waktu itu mereka sudah mempunyai bayi, Bob Kan. Seingat saya ipar saya kemudian tidak pernah membuka praktik. Anak mereka kemudian belajar di Eropa di Eton (sekolah menengah mahal dan berprestise di Inggris) dan kuliah di Cambridge Inggris.

Ketika ayah sakit, doktenya mengusulkan agar ayah beristirahat di Eropa. Sekali lagi ibu dan saya ikut. Pietro sudah pensiun tetapi ayah mempekerjakannya lagi setahun. Ia menyewakan rumah bagi kami di Paris. Sekali ini bahasa Prancis saya sudah bisa diandalkan untuk menjadi penerjemah ibu. Ibu lebih mempercayai selera kakak ipar saya daripada selera Pietro. Ia begitu jatuh hati kepada menantunya, sehingga kakak saya dibelikannya sebuah rumah besar yang dilengkapi beberapa pelayan di Wimbledon Inggris.

Ketika ayah, ibu dan saya pulang ke Jawa, saya merasa kehidupan saya tidak kembali seperti semula. Ibu sudah tidak tahan tinggal di Semarang, sebab gundik gundik ayah mempunyai sejumlah anak laki laki yang meningkat dewasa dan merekalah yang akan mewarisi perusahaan ayah. Apalagi kemudian ayah menyingkirkan semua gundiknya demi Lucy Ho. Namun tentu saja tidak terlindak dalam pikiran ibu untuk bercerai.

” Kini saya berpendapat, berkenalan dengan kaum ningrat dan orang berduit

tidaklah penting. Otak dan kepribadian lebih penting. Kita bisa

menderita akibat haus kekuasaan, tetapi kita bis mendapat kesenangan

dari sikap hormat, kesederhanaan dan sifat lurus. Kita seharusnya

menghargai orang orang lain dan hidup ini. Seperti kata ibu, kita harus

puas dengan yang kita miliki.”

Ayah pindah ke Singapura.

Saya sedih untuk berpisah dengan ayah, tetapi saya ikut dengan ibu ke London. Kemudian ayah juga meninggalkan istana marmer kami untuk pindah ke Singapura bersama Lucy Ho. Soalnya pemerintah Hindia Belanda menekannya untuk menjual perkebunan perkebunan tebunya dengan harga AS$ 70 juta. Ayah mempercayakan perusahaannya di Jawa kepada putra putranya yang terpilih. Tjong Swan dan Tjong Hauw. Mereka bertugas melaksanakan saran saran bisnis ayah dan melapor kepadanya.

Di London, ibu dan saya tinggal di Brooke Street, dekat hotel hotel besar. Kami mempunyai rumah lain di Wimbledon yang luas lahannya hampir 2,8 ha. Ibu mempunyai mobil Roll Royce, lengkap dengan sopir dan footman (pelayan yang tugasnya antara lain membukakan pintu mobil) Ipar saya mempunyai mobil Daimler dan Fiat. Di Wimbledon kami mempunyai seorang butler (kepala Pelayan) Cina, tiga gadis pembantu rumahtangga Inggris dan seorang sopir Inggris. Selain itu, kakak saya memiliki seorang koki inggris dan ibu membawa kokinya yang sudah lama bekerja padanya dari Jawa. Para pelayan itu selalu saja bertengkar. Ibu saya yang biasa berbahasa jawa, mengalami kesulitan bahasa dalam berkomunikasi dengan para pembantu. Jadi, segalanya harus diurus oleh ipar saya, sebab kakak saya pun tidak becus mengurus rumah. Dewasa ini, kalau saya pikir-pikir, ipar saya sepatutnya mendapatkan gaji untuk jasanya sebagai majordomo (pengurus rumah tangga)

Ipar sayalah yang pergi berbelanja dan membayar rekening. Karena koki indonesia bawaan ibu tidak bisa berbahasa Inggris, ipar saya pula yang ketiban tugas berbelanja ke pasar. Ipar saya harus menyerahkan rekening rekening dan catatan pengeluaran rumah tangga kami ke kantor ayah di Mincing Lane. Kalau saya pikirkan kembali, kami bersalah menyia nyiakan bakatnya, dengan hanya menjadikannya Majordomo. Mungkin ia bisa menjadi orang yang jauh lebih penting, kalau diberi kesempatan lain.

Saya diberi ayah 400 poundsterling atau AS$ 2,000 setahun untuk membeli pakaian. (Pada masa itu nilai poundsterling dan dollar jauh lebih tinggi daripada sekarang). Tentu saja tidak cukup. Saya sodorkan rekening rekening tagihan kepada Ting Liang. Ia sering marah, padahal ayah selalu mau melunasi semua pengeluaran saya. Suatu hari setelah bertengkar hebat dengan ipar saya, saya minta pindah. Saya tinggal alam sebuah villa kecil di Curzon street, diurus seorang pembantu rumah tangga prancis dan koki Prancis. Ting Liang tidak mau membayar sewa ruamh saya dan gaji pelayan serta koki saya. Jadi saya langsung mengirim telegram kepada ayah dan tanpa banyak cincong ayah menaikkan jumlah uang belanja saya.

Di masa remaja itu saya sangat menikmati dansa. Malam hari, saya pinjam mobil ibu lengkap dengan sopirnya untuk pergi bersama dua sepupu saya ke pesta pesta dansa. Sepupu sepupu saya itu adalah putra adik ibu yang di Singapura. Keduanya mendapat beasiswa untuk belajar di London dari dermawan Singapura, Lim Boo Keng. Teman teman saya masa itu diantaranya Guy Brook yang kemudian menjadi Lord Brook dan pemuda pemuda yang kelak menjadi Earl of Callodan, Sir Oliver duncan, dan Sir Hugo Cuncliffe Owen.

Saya belajar menyetir mobil dan mendapat mobil Daimler kecil. Saat itu umur saya belum genap 18 tahun dan London tahun 1918 masih sepi. Saya menganjurkan Tjong Lan untuk belajar menyetir juga. Hubungan kami tidak selalu mulus. Ia sering iri kepada saya. Pergaulannya terbatas pada orang orang sekantor ayah ata para relasi bisnis. Ia dibesarkan di Jawa sehingga tidak mengalami kebebasan seperti saya semasa mudanya. Padahal ia cantik dan jauh lebih pandai daripada saya.

Bertemu Wellington Koo

Walaupun bahasa Inggris Ibu saya sangat terbatas, berhasil juga ia mendapat teman teman. Banyak teman temannya itu diperoleh lewat roti. Entah dari mana ia belajar membuat roti. Seminggu sekali ia membuat roti dan rotinya itu empuk serta lembut. Suatu hari, tetangga kami, Marquess of Duferin dan isterinya datang, katanya karena tertarik bau roti yang datang dari rumahkami. Sang Marquess kemudian belajar bahasa Cina dari Ibu. Ia tidak berhasil memasukkan pelajaran itu ke otaknya, tetapi setiap pulang selalu mengepit roti buatan ibu.

Putri Alice dari Monaco (Saya rasa ia nenek Pangeran Rainer) juga bertandang karena roti. Ia menjadi teman baik ibu. Ketika kami bepergian kemana mana, kami selalu mendapat sambutan yang baik dari para bangsawan Eropa berkat saran dari Putri Alice.

Kemudian Tjong Lan tinggal di Paris. Suatu hari ia mengirim telegram kepada ibu, menganjurkan ibu dan saya cepat cepat datang. Ternyata, salah seorang anggota delegasi pemerintah Cina yang sedang mengadakan pembicaraan perihal perdamaian setelah PD I, ingin berkenalan dengan saya setelah melihat foto saya di rumah Tjong Lan. Nama anggota delegasi itu Wellington Koo. Walaupun umurnya baru 32 tahun, ia sudah duda karena isterinya meninggal muda. Almarhumah isterinya adalah putri jenderal Tang yang terkenal.

Wellington Koo adalah wakil Cina di AS dan ia lulusan Columbia University. Tjong lan menganggap, ini kesempatan baik buat saya mendapat jodoh. Padahal saya sama sekali tidak tertarik. Bayangkan duda berusia 32 tahun! Namun ibu begitu bersemangat. Dengan ogah ogahan saya pun ikut ke Paris. Benar saja dugaan saya. Gaya Wellington Koo kalah dibandingkan dengan gaya pemuda pemuda teman saya. Rambutnya dicukur pendek model cepak yang kuno itu. Pakaiannya bukan buatan penjahit Inggris terkemuka, tetapi dibeli di sembarang toko biasa di AS. (Setelah menjadi suami saya, mau juga ia memanjangkan rambutnya dan mengganti pakaiannya dengan yang lebih anggun). Ia tidak bisa berdansa, tidak tahu soal menunggang kuda, dan bahkan tidak bisa menyetir mobil.

Saat itu saya juga buta soal politik. Saya tidak tahu mengapa Jenderal Tang memperlakukan Wellington Koo dengan begitu hormat ketika mereka dijamu Tjong Lan. Saat itu Wellington Koo ditempatkan di sebelah saya. Ternyata ia tidak berusaha bercakap cakap tentang dunianya dengan saya. Ia menyesuaikan pembicaraan dengan dunia saya dan sebelum perjamuan berakhir saya sudah agak tertarik kepadanya.

Kami bercakap cakap dalam bahasa Inggris dan menjelang akhir perjamuan ia berkata akan menjemput saya keesokan ahrinya. Sebagai orang nomor dua dalam delegasi, ia mendapat fasilitas mobil dan sopir dari pemerintah Perancis. Saya terkesan. Kami mempunyai banyak mobil dan sopir, tetapi semuanya kami bayar sendiri. Wellington Koo begitu penting rupanya, sehingga pemerintah negara asing menyediakan mobil berpelat diplomatik baginya.

Saya lebih terkesan lagi ketika di opera dan di teater kami mendapat tempat khusus yang disediakan oleh pemerintah. Ayah tidak mungkin mendapat keistimewaan seperti itu, walaupun ia bersedia membayar berapa saja.

Saya pun berdandan serapi mungkin dan mengenakan pakaian saya yang paling indah. Permen dan bunga bunga yang indah mengalir untuk saya dari Wellington Koo, dari beberapa kali sehari ia menelepon saya. Kalau kebetulan saya sedang tidak ada di rumah, ia pun mencari saya sampai dapat. Suatu hari ketika sedang merawat tangan saya di Salon Elizabeth Arden, ia muncul. Saya merasa tersanjung, sebab pria yang mempunyai kedudukan seperti dia mau berbuat demikian demi saya.

Sekali, dalam percakapan saya katakan bahwa saya tidak mungkin diundang ke istana Buckingham, istana Elysee dan Gedung Putih.

Istri saya ikut diundang, kalau saya menghadiri perjamuan resmi di tempat tempat itu,”katanya.

“Tentu isterimu kan sudah meninggal,”kata saya.

Ya, dan saya mempunyai 2 orang anak yang masih kecil, yang memerlukan ibu,“ ketika itu umur saya baru 19 tahun dan saya biasa berbicara tanpa tedeng aling aling seperti ayah saya.

Jadi, kamu ingin menikah dengan saya,“tanya saya.

Ya, dan saya harap kamu mau. Ia tidak berkata bahwa ia mencintai saya, tidak juga bertanya apakah saya mencintai dia. Saya tercengang dan berkata saya akan berpikir pikir dulu.

Menantu Impian

Saya tahu apa yang akan dikatakan ibu. Wellington Koo merupakan menantu impiannya. Kekagumannya kepada Wellington Koo tidak pernah padam. Ibu tidak ragu ragu untuk memujinya secara terbuka. Ia sangat bangga menjadi mertua Wellington Koo. Mungkin ibu lebih cocok buat Wellington Koo daripada saya. (Wellington lahir di tahun babi sedangkan saya di tahun Harimau!)

Tjong Lan memberi saran,”Hui Lan, kamu harus menikah dengan Wellington Koo, jangan seperti saya yang bersuamikan orang yang tidak berarti. Ingat, kamu akan menjadi Madame Wellington Koo dan orang orang akan menyapamu Your Excellency.”

Ketika saya masih ragu-ragu, ibu tidak sabar. Saya katakan bahwa saya tidak siap menjadi ibu tiri. Menurut ibu, saya tidak perlu mengasuh sendiri anak anak tiri saya. Mereka sudah mempunyai pengasuh. Kalau belum, ibu yang akan mencarikan.

Ingat,“kata ibu kepada saya,“sekarang masih ada aku yang akan melindungimu, tetapi aku ini berpenyakit diabetes. Kalau aku sudah tidak ada, kamu kann tidak bisa hidup serumah dengan Tjong Lan, karena kamu tidak akur dengan Ting Liang. Kamu tidak akan diperbolehkan hidup sendiri oleh ayahmu. Kamu harus pulang ke ayahmu, padahal Lucy Ho membencimu. Kamu bisa diracuni.“

Saya pun setuju menikah dengan Wellington Koo. Dengan kegirangan ibu mengirim telegram kepada ayah. Mata-mata ayah menemukan satu titik hitam dalam sejarah hidup Wellington Koo. Ia pernah menikah dan bercerai di Shanghai, sebelum menikah dengan putri jenderal Tang. Ayah balas menelegram ibu,“kalian tolol. Kalau Hui Lan dinikahkan dengan Wellington Koo, ia tidak bisa menjadi istrinya, karena Wellington Koo mempunyai istri yang masih hidup di Cina. Mengapa kalian tega berbuat demikian kepada Hui Lan?”

Ibu tidak akan mundur. Ibu sudah diberitahu oleh Wellington bahwa semasa kanak kanak ia sudah dijodohkan dengan putri tabib yang menyembuhkannya dari penyakit berat. Waktu pulang liburan dari Amerika Serikat (ia mahasiswa yang cemerlang di Columbus University) tahu 1908, ibu dan kakak laki lakinya mengirimkan tandu merah kepada putri tabib itu. Wellington yang lahir 1887 dengan taat membawa gadis desa yang tidak terpelajar ke New York. Istrinya kemudian meminta dipulangkan karena tidak bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan di sana. Diadakanlah rapat keluarga yang memutuskan mereka bercerai. Masa itu perceraian diakui kalau direstui orang tua.

Kemudian Wellington menikah dengan gadis berpendidikan barat, putri Tang Shao Yi, tangan kanan Presiden Yuan Shih Kai. Setelah mendapat gelar master dari Columbus dan lulus dari sekolah hukum di Yale, Wellington Koo kembali ke Cina untuk menjadi sekretaris dan penerjemah bagi Yuan di Beijing.

Wellington Koo berasal dari keluarga yang tidak kaya tidak pula miskin. Mereka termasuk kuno. Kaki ibunya masih diikat dan ibunya itu hanya bisa berbahasa Cina dialek Shanghai, serta tidak pernah pergi jauh dari rumah. Ketika bersekolah di Amerika Serikat, Wellington hanya bisa tinggal di asrama murah dan hidup sederhana sekali. Istrinya, putri Jenderal yang berpendidikan barat itu penurut, berbeda dengan saya.

Pertunangan kami diumumkan di Hotel Ritz di Paris, sedangkan pernikahan kami dilangsungkan di kedutaan Cina di Brussels, Belgia. Hari itu Tjong Lan sakit, sehingga hanya ibu yang hadir. Ayah dan keluarga Wellington tidak bisa datang karena jarak yang jauh. Pernikahan harus dilangsungkan sebelum Wellington menggantikan Alfred Tse sebagai Minister (Jabatan yang lebih rendah dari duta) Cina di London. Saya mendapat hadiah Rolls-Royce dari ibu. Seragam sopirnya dibuat di Dunhill. Ibu juga menghadiahkan peralatan makan dari perak, yang waktu itu harganya 10,000 poundsterling. Benda itu masih saya miliki sampai sekarang, walaupun sudah lama sekali disimpan di bank dengan ongkos US$200 dollar setahun.

Sarung bantal bagi kami diberi kancing yang berhiaskan intan. Semua itu tentu saja ayah yang membayar, meskipun ibu yang membelinya. Hadiah perhiasan dari Wellington termasuk sederhana bila dibandingkan dengan yang saya dapat dari ibu.

Cintanya hanya untuk Cina.

Ketika kami sudah berada di hotel, saya menanggalkan pakaian pengantin saya yang dibuat dari Callot untuk berganti dengan negligee yang seksi untuk menyenangkan suami saya. Ternyata ia tidak memperhatikan saya ketika saya memasuki ruang duduk suite kami. Ia sedng sibuk bekerja dikelilingi empat sekretarisnya. Jadi saya duduk saja menunggunya.

Malam itu juga kami harus berangkat dengan kereta api ke Jenewa. Karena keesokan harinya Liga Bangsa-Bangsa dibuka dan Wellington Koo merupakan ketua delegasi Cina. Perhatian Wellington Koo hanya untuk Cina. Ia memang orang yang diperlukan oleh Cina, tetapi bukan suami yang tepat untuk saya. Otaknya cemerlang, tetapi ia tidak mampu bersikap mesra dan menunjukkan kelembutan.

Sore itu, sebelum berangkat untuk menghadiri resepsi pernikahan yang diadakan bagi kami oleh wakil cina untuk Spanyol yang khusus datang dengan istrinya. Pesta resmi itu dihadiri pejabat2 Prancis, Belgia, dsb. Ibu ikut dengan kami ke Jenewa. Pagi pagi saya dibangunkan oleh Wellington yang ternyata sudah berdandan rapi dan sudah sarapan. Katanya, di stasiun kami akan disambut seluruh delegasi cina. Cepat2 saya berdandan. Saya mendapat karangan bunga mawar yang besar sekali dari penyambut. Ibu saya juga, sehingga ia senang sekali.

Kami mendapat suite yang mengesankan di hotel Beau Rivage yang menghadap ke danau. Suami saya segera diambil para sekretaris untuk rapat. Wellington mengingatkan saya bahwa ibu saya berada di hotel itu juga dan mungkin menunggu saya. Jadi, saya pergi menemui ibu. Kami makan siang bersama lalu pergi berbelanja. Rasanya seperti belum menikah saja.

Saya sangat tercengang dan juga tersinggung ketika Wellington dan Wang mengatur tempat duduk tamu di perjamuan yang kami adakan tanpa meminta pendapat saya sama sekali. Saya bergidik melihat kartu bertuliskan nam orang yang akan duduk di kiri kanan saya, karena mereka orang orang yang sangat membosankan. Jadi, saya atur kembali letak kartu2 di meja perjamuan. Tahu-tahu, ketika saya sedang berdandan, Wellington masuk,“Hui Lan, ini bukan pesta pribadimu,“katanya. Kamu menjamu mewakili Cina, sehingga para tamu harus didudukkan sesuai dengan tingkatan mereka, agar tidak ada seorangpun yang merasa terhina atau hilang muka.“ Itulah pelajaran pertama yang saya dapat mengenai protokol. Kemudian saya sangat ahli dalam mengatur tempat duduk para tamu, sehingga tugas itu diserahkan kepada saya, bukan kepada pejabat kedutaan besar, yaitu setelah hubungan kami dengan negara negara meningkat menjadi kedutaan besar.

Suami lebih suka memakai mobil bekas.

Sejak semula Wellington gigih memperjuangkan pemulangan Shantung dari Jepang kepada Cina. Sebelum menikah dengannya saya tidak tahu menahu perihal itu, namun saya belajar dan mulai menginsafi posisi dan tanggungjawabnya yang besar.

Kami sering harus menghadiri resepsi resmi, Ia terlalu sibuk untuk memperhatikan pakaian saya, padahal saya mendapat banyak pujian. Suatu malam, sepulang resepsi, saya tanyakan kepadanya apakah sikap saya selama ini cukup memuaskan dan tidak dipergunjingkan orang? Ia mendekati saya. Saya kira ia akan memeluk saya, ternyata ia hanya mau mencopot anting anting intan saya. “Saya sudah memberi kamu perhiasan satu satunya yang bisa saya belikan,”katanya.”Saya ingin kamu memakainya, bukan perhiasan dari orang lain, walaupun banyak dikagumi dan dibicarakan orang.”

Saya tertegun. Perhiasan yang saya kenakan, sebagian besar pilihan ibu dan dibayar oleh ayah. Saya tersinggung karena suami saya menghendaki perhiasan itu disingkirkan. Ia memang menikah dengan saya bukan karena uang saya, terapi ia tahu perhiasan itu merupakan bagian dari saya.

Ia juga menyarankan agar pesanan Rolls Royce dibatalkan saja, sebab ia tidak sanggup membeli Rolls Royce. “Ayah bisa dan dia memberinya kepada kita,”jawab saya. Kata Wellington, ia akan membeli mobil bekas Alfred Sze. Mobil bekas dengan seragam sopir yang juga bekas? Jangan harap saya mau,”jawab saya. Akhirnya Wellington berkata, saya boleh naik Rolls Royce saya, tetapi ia sendiri akan naik mobil bekas Sze.

Roll Royce pesanan ibu menjadi bahan percakapan di London. Tampaknya Wellington tidak perduli. Ia juga tidak perduli saya terus menerima kiriman uang dari ayah. Pikir saya, goblok sekali kalau saya tidak memanfaatkan pemberian itu. Sementara itu saya juga mulai menikmati menjadi istri seseorang yang banyak perhatian dan penting.

Saya mendesak Wellington untuk memugar dan mengganti perabot kami di Portland Place yang suram itu. Ia mengingatkan bahwa Cina tidak kuat membayarnya. Ayah memiliki banyak uang. Keluar beberapa ribu dollar tidak berarti apa apa baginya,”desak saya. Ia mengingatkan bahwa semua yang saya bayar akan menjadi milik Cina. Saya tidak perduli. Ketika itu tidak pernah terpikir oleh saya bahwa uang ayah bisa habis. Tidak pernah terlintas dalam pikiran saya bahwa,”Tiada Pesta yang tidak berakhir.” Pepatah itu, menurut teman lama saya, E.T. Cheng yang kemudian menjadi dutabesar di London, adalah pepatah Cina yang paling menyedihkan.

Tampak serasi padahal tidak sejalan.

Masa itu banyak hal yang tidak saya pahami. Namun saya tahu dari ayah bahwa uang bisa berbuat banyak. Bagi saya, hidup lebih mewah daripada yang dimungkinkan oleh gaji Wellington bukanlah masalah. Hal itu tidak merugikan Cina, malah menguntungkan, sebab biayanya saya dapat dari ayah saya.

Saya masih ingat, ketika dengan pertama kali ke Istana Buckingham yaitu saat Wellinton menyerahkan surat-surat kepercayaan kepada Raja George V dan Permaisuri Mary. Putri Alice sebelumnya sudah mengajari saya curtsy, yaitu cara wanita memberi hormat kepada keluarga raja2. Ia juga berpesan agar saya jangan berbicara kalau tidak ditanya. Keluar dari istana, Wellinton berkomentar,”Kita ini memang pasangan yang hebat,” Ya, makin lama saya bertambah matang. Saya pandai mengatur seperti ayah dan memiliki selera seperti ibu. Saya pasangan yang sepdan bagi Wellington. Begitulah tampangnya dari luar, padahal pernikahan kami tidak berjalan dengan mulus.

Orang orang mengagumi otak suami saya, tetapi kami cuma negara kelas dua, sebab masa itu Cina bukan negara yang kuat. Kekuatan2 besar cuma mengirimkan wakil setingkat minister ke Beijing, bukan duta besar. Kami ditempatkan jauh di bawah para dubes. Suatu kali, ketika pulang dari suatu upacara, dengan bergurau saya katakan kepada Wellington,”Saya tidak ingin seumur hidup menjadi istri Minister, Kapan kamu menjadi dubes?” Bisa dipahami kalau Wellinton jengkel.“Kalau kamu tidak puas dengan keadaanmu sekarang, kapan pun kamu tidak akan puas. Saya tidak bisa mendapat kedudukan lebih tinggi lagi dari ini, minister untuk Istana Saint James!”

Putra sulung saya lahir di Washington, 30 Januari 1922, ketika suami saya menghadiri konferensi pembatasan Persenjataan, yang juga membicarakan nasib Shantung. Wellington memilih nama Kai Yuen yang berarti “zaman baru”. Namun nama resmi putra kami itu Yu Chang yang diberi oleh abang sulung suami saya. Namun sejak semula orang orang lain memanggil putra kami Wellington junior, sehingga seterusnya kami sebut ia junior.

Ayah berubah

Tahun 1916 keadaan cina kacau. Presiden Yuan Shih Kai meninggal tidak lama setelah berusaha menjadikan dirinya kaisar. Penggantinya lemah, Wellington yang sudah tujuh tahun meninggalkan cina dipanggil pulang. Dalam perjalanan ke Cina dengan S.S. Khyber kami singgah di Singapura. Tahu tahu pintu kabin kami diketuk pelayan. “Seorang pria berpakaian putih ingin bertemu dengan Anda, Madame. Katanya, beliau ayah saya.”

Dengan kegembiraan meluap luap saya membuka pintu. Saya perkenalkan ayah kepada Wellington. Mereka bersalaman secara formal seperti orang Eropa. Keesokan harinya saya dijemput ayah dengan perahunya sendiri. Di Pelabuhan sudah menunggu mobil bersopir. Namun, ketika tiba di kediaman ayah merasa ibu. Tidak ada istal, tidak ada bermacam macam dapur. Pelayan pun tidak banyak. Ayah bahkan tidak memiliki pelayan pribadi. Di lahan tmepat tinggalnya berdiri beberapa rumah. Rumah tempat tinggal denganLucy Ho mirip rumah pengusaha kecil Bahkan air leding dan WC dudukpun tidak ada.

Berulang ulang saya bertanya mengapa ia hidup seperti itu. Kemana ciri2 kemegahannya ? Ia tidak menjawab pertanyaan pertanyaan itu. Katanya, bisnisnya berjalan seperti biasa, Hauw maupun Swan bisa diandalkan. Kantor ayah di Singapura pun berjalan dengan baik, tetapi ia jarang ke sana.

Saya begitu sedih menyaksikan perubahan cara hidupnya dan melihat semangatnya merosot dalam mengurusi bisnis. Akhirnya ia berjanji kepada saya akan membeli mobil baru dan akan melengkapi salah sebuah rumah di lahannya dengan segala kemewahan,termasuk air leding dan WC.

Ayah berkata, saya tidak perlu khawatir. Neraca pribadinya bahkan lebih beres, karena ditangani sendiri oleh Lucy Ho. Berlainan dengan gundiknya yang lain . Lucy Ho terpelajar. Saya tetap khawatir. Saya tahu, tidak semua istri setia. Mengapa Lucy Ho membiarkan dirinya terikat pada pria yang menghamilinya setiap tahun ? Saya memperingatkan ayah agar jangan mencampuradukkan seks dengan bisnis. Ayah tertawa,”kamu dan ibumu akan jauh lebih kaya, kalau pemasukan dan pengeluaran uang kalian seperti Lucy Ho.”Saya pun tertawa dan menjawab,”Buat apa saya repot2 mengurusi neraca dan menelusuri kemana uang saya kalau saya mempunyai ayah seperti ini?”

Sama seperti saya, Lucy Ho rupanya lebih suka kalau kami tidak bertemu muka. Ia hanya muncul kalau makan siang. Ia mengenakan saraung dan berkebaya putih. Ia bertelanjang kaki dan rambutnya disanggul. Sanggulnya itu disemat dengan tusuk sanggul Kami bersikap resmi dan ia memasang wajah tidak ramah. Siangnya, waktu saya tanyakan kepada ayah apakah ia tidak rindu istananya di Semarang dan kemegahan hidupnya di masa lalu, ayah menggeleng. Saya merasa sedih. Lucy Ho sudah berhasil menghapuskan kenangan lama ayah dan saya tidak berhasil membujuknya untuk hidup menurut caranya yang lama. Kata ayah, Lucy Ho berlainan dengan saya dan ibu. Ia tidak terbiasa hidup dikelilingi banyak pelayan. Kehadiran banyak pelayan membuatnya risih.

Dibelikan istana

Tampaknya ayah dan Wellington tidak saling menyukai. Mereka memang berbeda. Wellington memberi saya posisi yang penting di mata dunia. Ayah memberi saya uang untuk menaikkan gengsi jabatan Wellinton, membelikan Rolls Royce yang kini berada di dalam kapal, dan menjadikan saya perempuan yang ingin dinikahi oleh Wellington

“Kamu perlu uang saku?” tanya ayah dengan lembut ketika sopir mengantarkan saya ke kapal.”Selalu,”jawab saya. Ayah menjejalkan uang kertas ke tas saya yang jumlahnya ternyata lebih dari US$ 50,000. Saya tidak tahu apakah Lucy Ho tahu ayah memberi saya uang sebanyak itu. Yang jelas, saya tidak memberitahu Wellington.

Di Shanghai kami disambut dengan meriah. Kakak sulung Wellington sudah menyewakan kami rumah yang dianggapnya hebat sekali, tetapi menurut ukuran saya sangat mengecewakan karena tidak memiliki air leding dan WC duduk. Tempat tidurnya keras, karena berupa ranjang kayu tradisional. Jadi, saya membawa anak anak dan para pelayan inggris kami ke hotel. Wellington sebenarnya tidak setuju karena tidak mau menyinggung perasaan abangnya.

Dengan uang ayah , kami berhasil mendapat istana di Beijing. Istana itu memiliki 200 ruangan dan terletak di tanah seluas kira2 4,6 ha. Istana itu dijual murah oleh pemiliknya, US$100,000, karena ia takut disita oleh pemerintah. Saya menghabiskan US$ 150,000 lagi untuk mendandaninya. Uangnya tentu saja saya daat dari ayah. Istana itu dibangun Kaiser pada abad XVII untuk seorang gundik yang paling dicintainya. Di istana ini kemudian Dr. SunYat Sen presiden pertama Cina, meninggal 1925.

Di sini kami mempunyai 40 pelayan. Saya tidak usah pusing mengurusinya, karena Wang yang setia bertindak sebagai majordomo. Putra kedua, saya lahir diistana ini 24 Juli 1923 malam. Wang membangunkan Wellington untuk memberi tahu.

Tuan, Anda mendapat putra Ketiga.”

Bagus,”jawab Wellington yang segera mengatupkan matanya kembali.

Saya terlalu naif untuk mengharapkan suami saya, memberi penghargaan atau menunjukkan kepuasan. Lama kelamaan saya insaf bahwa bayi dan anak anak tidak begitu menarik baginya. (Ketika Wellington sudah menjadi dubes di Paris, pernah ia berpapasan dengan Junior di jalan, yang sedang berjalan jalan dengan pengasuhnya. Namun Wellington tidak menegurnya sepatah kata pun. Setiba di rumah, Junior berkata kepada saya,”Ibu saya rasa ia tidak mengenal saya.”)

Putra saya yang kedua diberi nama Fu Chang oleh abang sulung Wellington, tetapi ia sering dipanggil Freeman. Bekas raja Muda India, Marquess of Wellingdon yang nama aslinya Freeman Freeman Thomas, memberinya nama demikian. Nama Cina sulit diucapkan olehlidah barat. Karena itulah suami saya mendapat nama Barat dari guru atau teman, yang mendekati bunyi nama aslinya. Hui Lan tidak sulit diucapkan , sehingga saya tidak perlu ganti nama.

Ayah Merasa Lelah

Pada masa itu, kalau sya pulang dari bepergian, saya sering menemukan jepit rambut perempuan atau bedak di ruang duduk saya. Wellington pun sering pergi berakhir minggu entah kemana. Di Pihak saya sendiri, tidak pernah terpikir oleh saya untuk menyeleweng, walaupun saya digoda. Menurut orang tua tua, tidak pantas saya pergi berbulan bulan ke tempat ayah, meninggalkan suami. Kalau saja Wellington keberatan, saya tidak akan pergi berlama lama. Namun ia selalu sibuk dan tidak pernah kelihatan gembira kalau saya pulang dari mana nana.

Kalau saya kaji kembali sejarah hidup saya, saya hanya pernah sekali jatuh cinta, yaitu ketika saya masih berumur belasan tahun di Singapura. Orang tua saya sama sekali tidak setuju pada pilihan saya. Mungkin mereka benar. Ketika berpuluh tahun kemudian saya bertemu kembali dengan Siao Kuan, saya juga kecewa.

Ketika saya menemui ayah kembali di Singapura, rumah yang dijanjikannya belum selesai. Ayah menyewakan serangkaian kamar di Raffles Hotel. Hampir setiap malam kami makan bersama. Setiap kali saya hanya berniat untuk tinggal beberapa minggu, tetapi akhirnya menjadi berbulan bulan. Pada kunjungan ke singapura sekali ini, di luar dugaan, saya diundang gubernur jenderal ke perjamuan di rumahnya. Saya pikir, ini kesempatan bagi saya untuk mengajak ayah. Ia senang sekali, sebab kesempatan seperti ini, tidak bisa dibeli dengan uang. Karena tidak mempunyai rencana untuk menghadiri perjamuan di rumah gubernur jenderal, saya tidak membawa perhiasan mahal ke Singapura. Ketika ayah melihat saya memakai perhiasan biasa, ia masuk ke rumahnya dan ketika kembali ia melemparkan ke pangkuan saya perhiasan intan yang besanya berpuluh puluh karat.

Orang Cina yang dundang cuma kami berdua dan Sir Robert Ho tung dari Hong Kong. Selebihnya orang Inggris. Padahal ayah tidak paham bahasa Inggris dan ingin duduk di sebelah saya. Saya jelaskan masalahnya pada ajudan gubernur jenderal, yang lantas menempatkan ayah di sebelah saya. Malam itu semua berjalan lancar, cuma saja nyonya rumah yaitu Lady Guillemard mungkin heran melihat pengaturan tempat duduk berubah.

Pulangnya saya mentraktir ayah makan di pecinan. Di sini ia merasa bebas, sebab tidak ada pengalang bahasa. Ketika kembali ke Cina, saya bawa perhiasan yang malam itu saya pakai ke Perjamuan. Soalnya, ayah tidak memintanya kembali. Saya tidak tahu apakah perhiasan itu milik Lucy Ho atau bukan.

Saya masih bertemu ayah sekali lagi. Suatu ketika ia menulis surat, memberi tahu villa saya sudah hampir selesai dan saya diminta memberi saran penyelesaiannya. Saya datang ke Singapura. Pada kesempatan ini ayah diramal oleh seorang India. Kata orang itu semua orang hanya mencintai ayah karena uangnya. Cuma ada satu orang yang benar benar mencintainya. Ia memperingatkan bahwa ada musuh yang akan meracuni ayah. Saya khawatir dan mengajak ayah meninggalkan Singapura, tetapi ayah tidak mau. Ia tenang saja. Dengan was was saya meninggalkan ayah. Kata katanya yang terakhir ketika mengantarkan saya ke kapal adalah,“Hui Lan, aku lelah.“

Oei Tiong Ham meninggal

Tiga bulan kemudian, saya menerima kawat dari Tjong Swan, yang memberitahu ayah meninggal tiba tiba akibat serangan jantung pada 6 Juni 1924. Inilah awal masa suram bagi saya. Selama ia hidup, saya tahu saya aman. Bukan hanya dalam hal keuangan, tetapi lebih dari itu. Selama ada ayah, tidak seorang pun berani berbuat jahat terhadap saya.

Saya memberitahu ibu di London dan mengajaknya menghadiri pemakaman. Ibu menolak, saya takut pergi sendiri. Jadi, Wellington menyarankan saya membawa Wang, majordomo kami yang setia dan seorang pelayan perempuan ke Singapura. Peti Jenazah sudah ditutup, dikelilingi orang orang yang benar benar asing buat saya, yaitu teman teman Lucy Ho. Saya insaf, sekarang saya orang luar.

Mengingat ramalan orang india beberapa waktu lalu, saya meminta jenazah ayah diautopsi, sebab saya curiga Lucy Ho meracuninya. Namun menurut penasihat hukum di Singapura, sebagai anak perempuan almarhum saya tidak berhak meminta autopsi terhadap jenazah ayah. Kalau ibu hadir, dia lah yang berhak memintanya.

Tjong Wan dan Tjong Hauw mengatur pemakaman yang akan dilakukan di Semarang. Jenazah ayah diangkut dengan kapal. Tjong hauw mengosongkan rumahnya supaya bisa saya tempati. Ia sendiri mengungsi ke rumah lain. Sebagai anak istri sah, saya duduk di kerta pertama yang mengiringi jenazah ke pemakaman. Swan, Hauw , dan para putra ayah dari gundik gundiknya berjalan di belakang kami. Pemakaman dilaksanakan tanpa biksu. Saya merupakan orang pertama yang diminta melemparkan tanah ke liang lahat. Untuk mencegah pertemuan dengan Lucy Ho dan anak anaknya, saya segera meninggalkan tempat itu.

Saya diberitahu bahwa Lucy Ho dan anak anaknya berani pindah ke istana kami, tetapi hal itu sudah tidak berarti apa apa lagi buat saya. Saya bahkan tidak sampai hati melihat rumah itu lagi. Saya tinggal beberapa hari di Semarang untuk menjenguk keluarga ibu. Mereka menjamu saya di sebuah hotel, yang paling baik di Semarang sehingga saya merasa terharu.

Ayah memberi saya warisan yang dijanjikannya. Ibu mendapat beberapa juta dollar dan Tjong Lan mendapat satu juta dollar. Namun perusahaan ayah dibagi antara Tjong Hauw, Tjong Swan dan Lucy Ho. Saya yakin kalau ibu datang, ia bisa membatalkan surat wasiat ayah. Swan setelah upacara berkabung selesai, segera menjual bagiannya kepada Hauw dan Lucy Ho. Kemudian Swan pindah ke Belanda.

Hauw memang sudah dekat dengan Lucy Ho dan lebih dekat lagi sejak Lucy Ho pindah ke Jawa. Mereka sudah meninggal sekarang. Saya dengar Lucy Ho meninggal di Swiss akibat kanker. Swan meninggal akibat infeksi gigi yang ditelantarkan dan pada 1951 Hauw pun meninggal di Jakarta karena serangan Jantung.

Bisnis ayah di Indonesia diam diam diambil oleh Jepan dan sisanya kemudian diambil oleh pemerintah Soekarno. Belum lama ini saya dengar, warisan yang saya terima dari ayah masih berada atas nama saya. Suatu ketika mungkin saya bisa menjualnya.

Tahun 1936;Wellington menjadi dubes cina pertama untuk Prancis. Saya pergi ke Paris, meninggalkan banyak harta benda saya di Cina. Saya juga meninggalkan perhiasan almarhumah isteri Wellington di sebuah bank di Shanghai, dengan maksud akan diberikan kepada putri mereka, Pat, kalau Pat sudah dewasa. Tidak terpikir oleh kami kalau semuanya akan amblas, karena Cina kemudian dikuasai oleh Komunis.

Diundang Ibusuri

Musim dingin 1943 Wellington dijadikan dubes di London. Kami berteman baik dengan Menteri Luar Negeri Anthony Eden dan pernah dijamu oleh PM Churchill, kemudian juga oleh PM Attlee. Suatu hari saya mendapat undangan dari Ibu Suri Mary. Kemudian saya balas mengundangnya untuk makan malam di kedubes kami.

Tinggal di rumah bekas penemu telepon

Kami bisa mengadakan perjamuan megah dsb, berkat uang warisan dari ayah, sebab apara duta besar waktu itu cuma US$ 600 sebulan, ditambah tunjangan perjamuan, rumah , supir dan pelayan kami peroleh dengan gratis.

Pakaian saya selalu saya usahakan dari kain sulaman cina kuno yang saya jdikan pakaian modern,tetapi dengan sentuhan cina. Baru setelah kain kain cina itu usang di masa perang dan saya tidak lagi mendapatkannya lagi, saya berganti berpakaian eropa.

Teman baik saya semasa di London adalah Joseph Kennedy, Jr. Sayang, ia gugur dalam perang. Kalau tidak , pasti ia menjadi menjadi presiden AS.

Saya ikut menjadi sukarelawan Palang Merah Inggris di bawah Edwina Mountbatten di masa perang itu. Saya menjalankan tugas2 saya dengan tertib. Perkara ketertiban saya bsia diandalkan, sebab ibu dan ayah sangat menetapi waktu. Berbeda dengan Wellington yang terlambat melulu.

Tahun 1945, putra saya Freeman ingin menjadi tentara nasionalis cina. Saya meminta Wellington mempergunakan pengaruhnya. Freeman pun menjadi ajudan seorang jenderal. Hal ini bisa tejadi antara lain karena kefasihan Freeman berbahasa Inggris.

Tahun 1946 Wellington menjadi dubes cina untuk AS. Kedubes cina di washington tadinya rumah penemu telepon Alexander Graham Bell. Tetangga di sebelah rumah saya adalah Marjorie Merriweather Post yang kaya raya itu. Kalau mengundang saya ke pestanya ia selalu berpesan,”Jangan ajak Wellington.”Hubungannya dengan suaminya pun tidak baik, ketika itu, ia bersuamikan Davies.

Pada masa Wellington menjadi dubes AS ini, Madame Chiang Kai Shek (isteri presiden Cina Nasionalis) pernah menjadi tamu kami. Ia boleh dikatakan tidak mengenakan perhiasan dan makanan permintaannya sederhana sekali. Karena suaminya tidak bisa berbahasa Inggris, madame Chiang yang mendapat pendidikan di AS itulah yang diutus ke AS untuk berpidato di hadapan kongres. Menurut saya, Chiang pun orang yang sederhana dan makannya sedikit sekali. Lingkungannyalah yang brengsek.

Kami juga berhubungan baik dengan wakil presiden Richard M. Nixon dan isterinya yang bijaksana itu. Kami sempat menghadiri upacara pelantikan presiden Harry S. Truman dan Presiden Dwight D. Eisenhower.

Ibu pernah tinggal bersama saya, tetapi kemudian menderita kanker sehingga harus dirawat di sebuah rumah sakit di New York. Ketika ibu meninggal tidak lama kemudian, Wellington mengusahakan pemakaman yang paling megah, yang dihadiri oleh para pejabat cina dan para dubes. Sembahyangan dilakukan dengan pimpinan biksu, saya merasa sangat kehilangan sampai lama sekali.

Hari Mendung tiba.

Berkat intrik dari orang yang sebenarnya dekat dengan kami, Wellington ditarik pulang. Ketika itu pemerintah Cina Nasionalis sudah pindah ke Taiwan. Saya membawa beberapa pakaian dan mobil saya meninggalkan Wellington dan kedubes. Ketika itu tahun 1956. Sudah sepuluh tahun kami tinggal di Washington. Saya menyewa apartemen di Sutton Palace, New York, tempat saya hidup ditemani dua anjing peking saya. Waktu itu saya belum tahu bagaimana caranya menyalakan oven ataupun merebus telur, jangankan lagi memasak. Wang ikut dengan Wellington, sedangkan kedua pelayan saya memilih bekerja di tempat lain sementara koki kami membuka restoran.

Kemudian saya belajar memasak dari Pat, putri tiri saya yang dulu rajin memperhatikan koki kami memasak. Kini saya bisa memasak ayam dengan paprika, tim ikan dengan tausi dan pelbagai macam makanan dar bahan laut. Saya pun mencari perabotan praktis saja. Saya masih memiliki beberapa perabot yang dulu saya beli dan juga pemberian ibu. Perhiasan saya, saya taruh di bank, tetapi sebagian saya simpan di rumah.

Suatu hari sepulang mengajak anjing saya berjalan jalan, saya disergap perampok. Dua orang bule itu mengikat kaki dan tangan saya dan membuntal saya dengan selimut seperti lumpia saja. Mereka tampaknya tahu betul dimana saya menyimpan perhiasan saya. Perhiasan senilai seperempat juta dollar itu amblas mereka gondol.

Setelah perang usai, sulit sekali mengurus rumah rumah kami di pelbagai tempat di eropa. Dengan susah payah berhasil juga saya menjualnya, walaupun dengan harga murah. Saya mengagumi Ny. Kung, seorang Methodist yang tabah. Ia menghibur saya,“Apa pun milik kita yang hilang, jika Anda mencintai Tuhan, Anda tidak akan terpengaruh.“

Pesta sudah berakhir

Kini saya jarang menjamu dan enggan menghadiri perjamuan. Kalaupun sekali2 saya hadir, saya tidak sakit ditempatkan di bagian meja mana pun, asal jangan di kolongnya.

Saya merasa masih beruntung sebab Pat, anak anak saya, dan cucu cucu saya semua tetap hormat dan mendengarkan kata kata saya. Putra Sulung Wellington masuk AU Nasionalis dan berada di Taiwan. Ketika salah seorang putra saya sakit dan gundiknya menjenguk ke rumah sakit, saya memukul kepala perempuan itu dengan payung. Putra saya mungkin tidak senang, tetapi ia tidak berani berbuat apa apa, sebab saya ibunya. Menantu saya, Edith, sangat berbakti terhadap saya. Kalau ayah mertuanya mengundang ia makan, ia selalu permisi dulu kepada saya sebelum menghadirinya. Wellington tinggal di Mount Vernon bersama seorang perempuan yang diperkenalkannya kepada semua orang sebagai isterinya, tetapi saya tetap menganggapnya sebagai gundiknya, sebab saya tetap Ny. Wellington Koo yang sah.

Saya merasa mempunya pertalian emosional dengan Indonesia tempat saya dilahirkan. Ayah tidak pernah mengajari saya berbisnis. Pada tahun 1968 saya pernah mencoba melaksanakan bisnis di Indonesia bersama dua rekanan perempuan Timur. Kami ingin mengusahakan perkapalan, tembakau dan sepeda tetapi gagal.

Kini saya berpendapat, berkenalan dengan kaum ningrat dan orang berduit tidaklah penting. Otak dan kepribadian lebih penting. Kita bisa menderita akibat haus kekuasaan, tetapi kita bis mendapat kesenangan dari sikap hormat, kesederhanaan dan sifat lurus. Kita seharusnya menghargai orang orang lain dan hidup ini. Seperti kata ibu, kita harus puas dengan yang kita miliki.

Tjong Lan sudah meninggal di New York tahun 1970. Suaminya meninggal setahun sebelumnya. Banyak teman baik saya pun sudah meninggal, tetapi saya banyak mendapat teman baru yang masih muda. Saya sering mengenang anjing anjing saya yang sudah mati, yang memberi saya cinta kasih dan kebahagiaan pada tahun tahun terakhir. Saya harap suatu waktu kelak mereka akan dilahirkan lagi. Kalau demikan halnya, saya yakin kami akan saling mengenali.

Catatan Redaksi: Oei Hui Lan masih bisa memberi kata pendahuluan untuk buku Raja Gula Oei Tiong Ham yang ditulis Liem Tjwan Ling, Maret 1978. Ketika itu Hui Lan masih menjadi Chief Executive Amerabia Corporation.

Inilah akhir dari sebuah pelajaran hidup yang lantas menjadi sebuah sejarah yang patut kita simpan dan jadikan bagian dari kehidupan yang mempunyai arti jika harta bukanlah nyawa dalam sebuah kehidupan yang bahagia.

Template by : kendhin x-template.blogspot.com